Senada dengan Abah Doink, Zawawi menyebut bahwa carok tak bisa serta-merta dilakukan. Banyak tahapan yang harus dijalani. Hingga mediasi menemui jalan buntu, dan satu-satunya penyelesaian adalah duel satu lawan satu.
“Ejin. Artinya, satu lawan satu. Lazimnya, dan etikanya, carok memang satu lawan satu,” ujar Abah Doink. Jika ditantang carok, maka laki-laki Madura akan dianggap penakut apabila tak menyanggupi tantangan itu.
BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (2): Dimediasi Blater
Tradisi terkait keberanian telah ditanamkan oleh masyarakat Madura sejak kecil. Abah Doink mengungkapkan salah satu tembang kanak-kanak yang lestari di Madura. Tembang itu juga tercantum dalam buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, karya Dr Latief Wiyata.
Tembang itu biasa disebut Ba-lallaba. Terdiri dari 4 bait:
Ba-lallaba ghangan tarnya'/Ba-lallaba jhuko' langghung/Ba-lallaba mon bangal kanna'/Ba-lallaba mon tako' ondhur.
Jika diterjemahkan: Ba-lallaba sayur bayam/Ba-lallaba ikan tongkol/Ba-lallaba kalau berani silakan kemari/Ba-lallaba kalau takut silakan menjauh.
“Tembang itu merupakan indikasi bahwa secara sosial-budaya, sejak kecil anak laki-laki Madura telah dipersiapkan untuk menjadi seorang angko (pemberani,Red),” ungkap pria 63 tahun itu. Sebab, syair Ba-lallaba secara jelas mengandung tantangan kepada orang yang dianggap musuh untuk berkelahi.
Namun, jika tidak berani, syair tersebut dengan sinis menyuruh untuk mundur atau menjauh. “Tak hanya dari tembang. Ada sindiran-sindiran sebagai bentuk konstruksi budaya tentang keberanian dalam carok,” ujarnya.
Laki-laki penakut akan diejek odi' ka colo', atau olle pettha. Artinya, banyak bicara, tapi ketika berhadapan dengan musuh, hatinya ciut. Pun jika seorang laki-laki menolak tantangan carok, ia akan terus-menerus menerima sindiran.
Dalam buku Carok, Dr Latief menulis pesan bernada sinis dari seseorang, untuk orang yang tak berani melakukan carok, “Sayangilah anak-cucumu. Kalau engkau tidak melawan, tidak bercarok, kelak anak-cucumu akan disebut keturunan dari laki-laki yang tidak memiliki empedu.”
Kalimat sindiran itu akan terus-menerus dikatakan, hingga orang tersebut terpicu untuk menerima tantangan. Untuk membuktikan bahwa dirinya tak seperti itu.
“Selain keberanian, tentu penguasaan beladiri. Menguasai teknik-teknik menggunakan senjata, dan semacamnya,” ujarnya. Itu merupakan syarat yang disebut kadhigdhajan.
Selain itu, terdapat syarat lain. Yakni tampeng sereng dan bhanda. Tampeng sereng merupakan kesiapan nonfisik atau spiritual. Misalnya, dengan cara apaghar atau meminta doa-doa dari kiai setempat. Mengisi dirinya dengan kekebalan dan azimat tertentu agar memenangkan carok.
Sedangkan bhanda berarti mempersiapkan sejumlah uang. Sebab, carok adalah tradisi yang memakan biaya banyak. Mulai dari membeli senjata, mempersiapkan uang untuk keluarga yang hendak ditinggalkan, mengumpulkan sanak-saudara untuk membahas carok, dan lain-lain. (Guruh Dimas Nugraha)