HARIAN DISWAY - Sebagai tradisi lampau masyarakat Madura, carok menyimpan beragam nilai. Selain “etika” kejantanan, tradisi itu pernah menjadi penanda identitas kultural bagi setiap laki-laki Madura. Khususnya tentang keberanian.
Secara geologis, permukaan tanah di lingkungan alam Madura didominasi oleh susunan batu kapur dan endapan kapur.
Terdapat lapisan aluvial laut di sepanjang pantai utara dan empat dataran aluvial sungai. Satu di barat, dua di selatan, dan satu di timur.
BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (4): Hitung Dina Naas
Dengan kata lain, Madura disebut sebagai sisi utara Jawa. Kelanjutan dari pegunungan-pegunungan kapur yang ada di utara dan selatan Lembah Solo.
“Di Madura itu sulit air. Terutama saat musim kemarau,” ujar KH D Zawawi Imron, budayawan Madura. Ia ditemui oleh Harian Disway di Taman Budaya Jawa Timur, usai mengikuti kegiatan Ziarah Kebangsaan: Refleksi Indonesia Damai, di makam Dr Soetomo, Surabaya.
Terkait kejadian “carok” di Bangkalan, pada 12 Januari 2024, budayawan sepuh itu turut angkat bicara. Ia sependapat dengan Hidrochin Sabarudin (Abah Doink), sesama budayawan. Bahwa carok masa kini telah mengalami pergeseran nilai.
Carok dan Pergeseran Nilai (5): Diajari angko sejak kecil. Hidrochin Sabarudin (tengah) bersama D Zawawi Imron (kanan). Dua budayawan Madura yang kerap membahas tentang carok. Tradisi itu telah mengalami pergeseran nilai di Madura.-hidrochin sabarudin-
“Di dalam tradisi carok, sebenarnya ada sikap jantan dan ksatria. Pun diliputi dengan tanggung jawab besar,” ungkap pria berjuluk Celurit Emas itu. Ia menyebut bahwa peristiwa 12 Januari sebagai tawuran yang disertai pembunuhan. Bukan carok. Melainkan tokar, atau pertengkaran.
Menurut Zawawi, terdapat banyak hal yang memicu terjadinya carok di Madura. Salah satunya karena air. Sebab, sebagai daerah yang didominasi tanah kapur, air menjadi sangat penting.
Dari berbagai sumber, Madura memiliki dua musim. Yakni musim barat atau nem bhara', atau musim penghujan. Berlangsung dari Oktober hingga April.
BACA JUGA:Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (3): Etika Jantan
Kedua, musim timur atau nemor. Yakni musim kemarau yang berlangsung dari April hingga Oktober. Saat kemarau itulah suasana menjadi sangat panas. Sumber-sumber air mengering dan terdapat antrean warga untuk itu.
“Air selalu menjadi barang yang diperebutkan. Beberapa di antaranya terjadi karena kecurangan dalam irigasi sawah,” ungkapnya. Ia memberi contoh kasus tentang seorang petani yang mengalirkan air untuk sawahnya.
Namun, petani yang lain berbuat curang. Tanah dibobol sedemikian rupa, atau membelokkan air untuk sawahnya. Tentu itu menciptakan konflik, dan berakhir dengan carok.