HARIAN DISWAY - Ulasan ini membahas isu-isu halal yang terkait dengan gelatin komersial, menjelaskan metode produksi, pertimbangan agama, dan potensi masalah dari produk sapi dan perikanan.
Gelatin, zat berprotein serbaguna yang berasal dari kolagen, memainkan peran penting dalam berbagai industri, termasuk makanan, farmasi, dan kosmetik. Secara tradisional bersumber dari kulit dan tulang sapi, permintaan gelatin telah mendorong eksplorasi ke sumber-sumber alternatif, termasuk produk laut.
BACA JUGA: Memanfaatkan Potensi Blue Food di Indonesia dengan Mengembangkan Halal Food Lifestyle
Reportlinker Internasional (2020) menyebutkan bahwa produksi gelatin dunia mencapai 516,8 metrik ton. Diperkirakan terus meningkat hingga diprediksi mencapai 696,1 metrik ton di tujuh tahun mendatang.
Kontribusi produksi gelatin terbesar berasal dari kulit babi sebesar 42,9 persen. Sisanya dari kulit sapi, tulang hewan dan bahan-bahan lain yang mengandung gelatin. Dukungan produksi gelatin dari kulit sapi hanya sebasar 28,7 persen. Artinya sumber bahan halal lain perlu dikaji lebih banyak.
Gelatin yang berasal dari sapi telah menjadi pilihan lama di berbagai industri karena sifat-sifat fungsionalnya. Namun, kekhawatiran muncul dari perspektif halal. Terutama terkait dengan proses penyembelihan dan kebolehan menggunakan produk turunan sapi.
Hukum makanan Islam menetapkan bahwa hewan harus disembelih dengan mengikuti pedoman khusus. Termasuk mengucapkan nama Allah dan memastikan perlakuan yang manusiawi terhadap hewan. Dengan demikian, gelatin yang berasal dari hewan yang tidak disembelih sesuai dengan prinsip-prinsip ini dapat menimbulkan masalah kehalalan.
Pada 2021, BPS melaporkan jumlah sapi yang disembelih di Indonesia menapai 1,1 juta ekor (2019) dengan jumlah kulit yang dihasilkan sebesar 33.067 ton. Nilai ini pun tidak semua digunakan sebagai sumber gelatin. Karena sebagian digunakan untuk kerajinan kulit lokal sebagai bahan samak kulit.
Beberapa lembaga sertifikasi memberikan sertifikasi halal untuk gelatin sapi, memastikan bahwa sumber, pemprosesan, dan penanganannya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Produsen semakin menyadari pentingnya memperoleh sertifikasi tersebut untuk memenuhi basis konsumen yang beragam yang mengikuti persyaratan makanan halal.
Zona halal yang digagas Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian melalui Sektreratisnya Susiwijono Moegiarso, menyebutkan bahwa Batan cukup berpeluang besar dalam pengembangan halal di Indonesia. Bahkan diharapkan menjadi sentral halal global.
Gelatin yang diimpor Indonesia dari Tiongkok hampir menguasai 70 persen gelatin yang diperkirakan diproduksi dari bahan non-halal. Hal tersebut disampaikan dalam webinar nasional bertajuk Membangun Industri Makanan dan Minuman Halal Dalam Negeri serta Dukungan Perbankan Nasional pada 26 September 2022.
Dengan demikian, Indonesia berpeluang sangat besar dalam mendukung pengembangan produk halal ke depan dengan mengoptimalkan potensi sumber daya. Beragam sumber bahan gelatin potensial di Indonesia masih sangat besar. Tidak hanya produk peternakan seperti gelatin sapi, sumber lain dari bahan baku perikanan juga sangat potensial yakni teripang, kulit ikan, dan ubur-ubur.
Pencarian sumber alternatif telah menyebabkan meningkatnya minat terhadap gelatin yang berasal dari produk perikanan, terutama kulit dan tulang ikan. Dari perspektif biologi kelautan, pendekatan ini sejalan dengan tujuan keberlanjutan, memanfaatkan produk sampingan dari industri perikanan yang jika tidak akan terbuang sia-sia.
Namun, status halal gelatin perikanan membutuhkan pertimbangan yang cermat. Sertifikasi halalnya melibatkan evaluasi jenis ikan dan metode ekstraksi. Islam mengizinkan konsumsi ikan. Tapi ada beberapa perbedaan pendapat mengenai kebolehan mengonsumsi gelatin yang berasal dari ikan yang tidak bersisik.
Oleh karena itu, memahami hukum agama secara spesifik mengenai hal ini sangatlah penting. Selain itu, metode pengolahan gelatin perikanan harus sesuai dengan prinsip-prinsip halal. Kontaminasi silang dengan zat-zat yang tidak halal atau penggunaan alat bantu pengolahan yang tidak diizinkan dapat membahayakan status halal produk akhir.