Para pelakunya bisa terangsang seksual dengan berbagai bentuk adegan. Bisa dengan mengenakan pakaian khas (di Surabaya pelaku dibungkus kain jarik sampai mati). Atau, berperilaku seperti hewan.
Salah satu bentuk parafilia yang paling ekstrem adalah erotophonophilia. Yakni, menggorok salah seorang pelaku. Jadi, sudah pasti bahwa erotophonophilia adalah pembunuhan. Sebab, dengan melihat penggorokan, pelaku merasa terangsang seksual.
Catherine Purcell adalah psikolog forensik. Bruce Arrigo adalah kriminolog. Buku mereka itu best seller dunia. Jadi rujukan bagi peneliti perilaku seks menyimpang.
Dijelaskan, parafilia bukan kelainan seks. Melainkan, sudah kejahatan seksual seperti kanibalisme, voyeurisme, erotophonophilia, fetisisme.
Meskipun penelitian menunjukkan jumlah laki-laki parafilia lebih tinggi, jumlah perempuan parafilia tumbuh pada tingkat yang memprihatinkan. Ada pelaku parafilia yang mempunyai unsur pidana. Namun, ada pula yang tidak merugikan korban secara langsung.
Erotophonophilia adalah kejahatan. Disebut juga pembunuhan berdasar nafsu seks. Bukan perilaku seksual yang khas. Diperlukan lebih banyak penelitian soal itu.
Pembunuhan nafsu didefinisikan sebagai subkategori yang berbeda dari pembunuhan biasa dan pembunuhan seksual. Pembunuh nafsu biasanya memutilasi korban. Pelaku memotong organ vital korban, misalnya, rektum, alat kelamin, payudara, dan organ vital lain.
Pembunuh nafsu bisa terorganisasi atau tidak. Individu atau kelompok. Tapi, fokusnya pemukulan, penyembelihan, dan pemotongan tubuh korban (mutilasi) pada bagian tubuh yang menurut pelaku merangsang rangsangan seksual.
Purcell dan Arrigo dalam buku itu berpendapat, pelaku erotophonophilia cenderung mengulangi perbuatannya. Ketika diulang, mereka bakal bertindak lebih brutal dan sangat sadis.
Jadi, sudah tepat Waliyin dan Ridduan dihukum mati. Supaya mereka tidak bisa mengulangi perbuatan mereka. Tapi, kelainan seks yang unik itu ternyata sudah ada di Indonesia. Jangan-jangan ada pelaku lain yang belum terungkap. (*)