SURABAYA, HARIAN DISWAY - Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menggandeng Paris Lodron Universitat Salzburg, Austria, dengan menggelar kuliah umum di Gedung Rektorat Untag Surabaya, Rabu, 13 Maret 2024. International joint lecture tersebut bertajuk Digital Platform Power Play: Indonesia and Europe Perspective.
Kuliah umum ini mencoba membandingkan iklim media di Indonesia dengan di Eropa yang sangat jauh berbeda. Perbedaan terlihat dari kecenderungan warga Indonesia memercayai media sosial dibandingkan dengan media mainstrem.
Dosen Ilmu Komunikasi Untag Surabaya Dr Merry Fridha Tri Palupi mengatakan, berdasarkan survei Nielsen Indonesia, tren pengguna media sosial di Indonesia pada 2023 melebihi jumlah populasi warga.
Head of Departemet Communication Paris Ladran Universitat Salzburg Austria Prof Josef Trappel (kiri) dari Paris Lodron Universitat Salzburg Austria dan Rektor Untag Surabaya Prof Mulyanto Nugroho usai kuliah umum pada Rabu, 13 Maret 2024. -Acmad Gilang Racmadani-HARIAN DISWAY
"Populasi kita 276,4 juta jiwa, tapi pengguna mobile atau handphone melebihi penduduk kita yakni 353,8 juta. Jadi 128 persen dari masyarakat Indonesia ada yang pakai dua mobile phone," jelasnya.
Sebanyak 77 persen populasi terbiasa menggunakan internet. Bila dikerucutkan, pengguna sosial media ada 167 juta jiwa atau 60,4 persen populasi menggunakan sosial media. Ada pun waktu yang dihabiskan untuk mengakses sosial media hampir 8 jam sehari.
"Waktu banyak dihabiskan ke sosial media. Cari informasinya pengen cepat melalui sosial media. Jadi informasi yang sering diterima dan dibaca karena dipapar terus jadi percaya," jelasnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Untag Surabaya Dr Merry Fridha Tri Palupi (berkerudung). -Acmad Gilang Racmadani-HARIAN DISWAY
Padahal, informasi dari sosial media tidak sepenuhnya benar. Merry mengatakan ada pergeseran proses produksi informasi. Siapa pun bisa membuat. Kondisi ini membahayakan karena semua orang bisa memproduksi informasi.
"Enggak ada gatekeeper-nya. Jadi bahaya karena tidak ada lagi yang bisa mengontrol informasi yang masuk. Kemudian informasi itu overload," ujarnya.
Kondisi ini diperparah dengan adanya kesenjangan berita. Artinya, pengguna tidak lagi baca berita portal tepercaya justru tidak dilakukan tapi malah percaya sepenuhnya di media sosial. Memang banyak yang masih percaya kepada media mainstrem, tapi tetap tidak ada yang percaya media terverifikasi tersebut.
"Kita saja, yang sebenarnya kaum terdidik masih sering kali terkecoh berita tidak benar, hoaks dan bombastis. Jelas-jelas televisi atau koran yang sebenarnya ada gatekeeper-nya tapi orang tak percaya, lebih percaya media sosial. Nah ini bagaimana," ujarnya prihatin.
Sejauh ini memang pemerintah sudah mengatur regulasi hal itu. Semua yang menggunakan perangkat digital sudah diatur Undang-Undang ITE. Namun, pelapornya didominasi ialah pejabat publik karena merasa banyak dikritik.
Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena bisa mengebiri kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. "Nah yang paling banyak dilaporkan ini aktivis," imbuhnya.
BACA JUGA: Broadcast Journalism Untag Surabaya Ajarkan Mahasiswa Tantangan Liputan
Head of Departemet Communication Paris Ladran Universitat Salzburg Austria Prof Josef Trappel mengatakan European Media Freedom Act (EMFA) dijunjung tinggi di Eropa. EMFA merupakan Undang-Undang Kebebasan Media Eropa yang melindungi independensi suatu media.