Hakim Juga Manusia
 
                                    ILUSTRASI Hakim Juga Manusia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
”SEUMUR HIDUP saya belum pernah lihat uang sebanyak itu. Jadi, saya tergiur.” Begitu pengakuan Agam Syarief Baharudin, salah seorang hakim yang menjadi terdakwa kasus suap dalam perkara korupsi minyak goreng.
Kalimatnya pendek, jujur, sekaligus tragis. Sebab, dari pengakuan itulah, kita menyaksikan bagaimana benteng terakhir keadilan bisa runtuh oleh godaan segepok uang.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, 22 Oktober 2025, tiga hakim (Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom) diadili karena diduga menerima suap miliaran rupiah untuk memvonis bebas tiga korporasi dalam kasus crude palm oil (CPO).
BACA JUGA:Hakim Menangis Sidangkan Lima Kolega dalam Kasus Suap Ekspor CPO
BACA JUGA: Vonis Lepas Kasus Minyak Goreng, Hakim Djuyamto Ungkap Ada 'Perintah dari Atas'
Satu di antara mereka menangis di ruang sidang sambil mengucapkan kalimat yang bergetar, membuat bulu kuduk yang mendengar merinding. ”Saya yang menghancurkan karier saya sendiri.” Air mata itu mungkin tulus, tapi sudah terlambat.
Hakim adalah wajah hukum sekaligus cermin moral bangsa. Di ujung palu merekalah keadilan ditegakkan atau dikhianati. Namun, ironi terjadi: mereka yang diberi wewenang memutus benar dan salah justru terjerat dalam kejahatan yang menghancurkan kepercayaan publik terhadap hukum.
MENGAPA HAL ITU BISA TERJADI?
Jawabannya tentu kompleks, tapi setidaknya ada tiga lapis penyebab: kerapuhan moral individu, kelemahan sistem, dan ketimpangan sosial.
BACA JUGA:Eks Hakim Korupsi Kembali Jadi ASN di PN Surabaya, Langgar Aturan
BACA JUGA:Gaji Hakim Resmi Naik hingga 280 Persen
Pertama, soal kerapuhan moral dan spiritualitas profesi. Hakim, sekuat apa pun pendidikannya, tetaplah manusia yang punya nafsu, keinginan, dan rasa takut. Tapi, menjadi hakim seharusnya berarti menjadi ”manusia yang meletakkan nurani di atas duniawi”.
Ketika kesadaran itu pudar, godaan uang yang berlimpah terasa lebih nyata daripada keadilan yang abstrak.
Pernyataan ”belum pernah lihat uang sebanyak itu” menandakan betapa lemahnya daya tahan moral terhadap godaan materi. Padahal, godaan itu justru datang dari ruang yang seharusnya paling bebas dari korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber:
 
                         
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                                                 
                                                 
                                                 
                                                