SURABAYA, HARIAN DISWAY - Ziarah Gelora Indonesia Raya menjadi agenda penting di hari kedua Hari Musik Nasional 2024. Saat itu keluarga WR Supratman menjelaskan alasan penolakan mereka pada film Wage.
Ada satu tahapan yang dihapus dalam rangkaian acara Hari Musik Nasional 2024. Yakni nonton bareng film Wage yang sedianya digelar pada hari pertama, 8 Maret 20224. Film itu tentang WR Supratman. Pencipta lagu Indonesia Raya. “Sebab ada penolakan dari Yayasan Keluarga Besar WR Supratman. Menurut mereka, film itu banyak kekeliruan,” ujar Heri Lentho, ketua komunitas seni JatiSwara, penyelenggara acara. BACA JUGA: Ziarah Makam WR Supratman saat Peringatan Hari Musik Nasional 2024, Heri Lentho Sayangkan Bau Sampah Menariknya, di semua channel streaming, film Wage tidak ditemukan lagi. Hilang dari peredaran. Untuk makin tahu ada apa, Harian Disway menemui perwakilan keluarga WR Supratman pada hari kedua peringatan. Yakni pada 9 Maret 2024. Saat itu digelar prosesi tabur bunga dan menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 stanza, bertajuk Ziarah Gelora Indonesia Raya.Soerachman Kasansengari berfoto bersama para siswa peserta Ziarah Gelora Indonesia Raya, rangkaian kegiatan Hari Musik Nasional, pada 9 Maret 2024. --Julian Romadhon - HARIAN DISWAY Perwakilan keluarga WR Supratman itu Soerachman Kasansengari dan putranya Airlangga B Amitaba. Usai melakukan tabur bunga, keduanya berkomentar. “Betul kami menolak. Itulah alasan film Wage hilang dari peredaran. Tidak bisa ditemukan di channel streaming mana pun,” ungkap Surachman. Penolakan itu terjadi karena ada banyak adegan yang tidak tepat. Tak sesuai dengan fakta sejarah yang tertulis dalam buku maupun kesaksian orang-orang terdekat WR Supratman. “Film itu berupaya membelokkan sejarah WR Supratman. Salah satunya menyebut bahwa Wage lahir di Purworejo. Keliru. Daerah kelahiran beliau adalah Jatinegara, Jakarta. Dulu namanya Jalan Meester Cornelis,” ujar Airlangga. Dalam film itu dikisahkan pula bahwa WR Supratman sempat bersembunyi ke sebuah pondok pesantren di Purworejo. Tidak diketahui data sejarah apa yang digunakan oleh sutradara atau penulis naskah film tersebut. Y ang jelas, WR Supratman digambarkan pernah menjadi santri di pondok tersebut. Sehingga saat dikejar Belanda, ia meminta perlindungan di pondok pesantren itu. “Ada adegan ketika Belanda datang, lalu santri-santri mempertahankan diri dengan panah. Demi melindungi Wage. Itu terlalu dibuat-buat dan ngarang. WR Supratman tidak pernah nyantri. Apalagi lari ke Purworejo,” terang Soerachman. Ia menyebut bahwa pihak keluarga memegang data sejarah valid. Baik berupa catatan-catatan era kolonial, dokumen sejarah, penelitian para sejarawan hingga catatan tertulis dari keterangan saksi hidup. Apalagi ayah Soerachman adalah orang yang dititipi pesan secara langsung oleh mendiang WR Soepratman. Beberapa hari sebelum meninggal dunia. "Ayah saya namanya Oerip Kasansengari. Adik ayah menikah dengan adiknya WR Supratman pada 1922. Jadi terhitung ipar. Hubungan antara ayah dan WR Supratman sangat dekat," ungkap pria 79 tahun itu. Pun, hubungan antara Oerip dan saudara-saudara kandung WR Supratman yang lain juga sangat dekat. Seperti Roekijem Soepratijah, Slamet, Roekinah Soepratitah dan lain-lain. Menurut kesaksian ayah dan saudara-saudaranya yang lain, WR Supratman sempat berpindah-pindah tempat tinggal. Itu karena lagu Indonesia Raya yang diciptakannya serta berbagai karya sastra yang menyudutkan pemerintah kolonial.
Berbicara di depan peziarah, Soerachman menyampaikan bahwa semangat dan perjuangan WR Supratman harus diteladani oleh para generasi muda saat ini. --Julian Romadhon - HARIAN DISWAY Tahun 1930 ia sempat dipanggil pihak keamanan kolonial di Jakarta terkait Indonesia Raya. Sejak itu ia jatuh sakit. Pada 1934, ia dibawa saudara-saudaranya ke Cimahi. Tapi saat itu ia masih terus diintai oleh reserse polisi Belanda. Tahun 1936, Wage dilarikan ke Randudongkal, Pemalang. Ia tinggal bersama kakak keduanya, Roekinah Soepratirah. "Pada 1937, WR Supratman dibawa ke Surabaya. Tinggal bersama kakak tertuanya, Roekijem. Waktu itu rumahnya di Jalan Mangga, Tambaksari, Surabaya," ungkapnya. Beberapa hari sebelum meninggal, 7 Agustus 1938, WR Supratman menyiarkan lagu Matahari Terbit di NIROM. Yakni radio zaman Belanda yang sekarang berubah menjadi RRI. Ia pun ditangkap polisi. Diperiksa, ditahan di penjara Kalisosok selama 5 hari. Kemudian dibebaskan. "Pada 17 Agustus 1938, eyang WR Supratman meninggal dunia di rumah kakaknya yang di Jalan Mangga itu," terang Airlangga. Sebelum berpulang, ia meninggalkan secarik kertas berisi not-not musik. Karya terakhirnya berjudul Selamat Tinggal. "Kemudian eyang WR Supratman berpesan pada kakek saya, Oerip. Beliau mengatakan, "Mas, nasibku sudah begini. Ini yang disukai pemerintah Belanda. Saya iklas. Toh saya sudah berjuang dengan caraku. Dengan biolaku. Saya yakin, Indonesia pasti merdeka," terang pria 48 tahun itu. Jelaslah film Wage cukup banyak kekeliruan. Lebih-lebih, dalam pelarian, WR Supratman tak pernah mengunjungi Purworejo. Tak mungkin ke sana, karena ia tak memiliki saudara atau kerabat di kota tersebut.
Tabur bunga di pusara WR Supratman dilakukan Soerachman Kasansengari, keponakan mendiang, dalam rangka Hari Musik Nasional. --Julian Romadhon - HARIAN DISWAY "Soal keterangan lahirnya WR Supratman sudah diteliti sejarawan Unair Sarkawi B Husain. Ia lahir di Jatinegara pada 9 Maret 1903. Bukan di Purworejo," ucap Soerachman. BACA JUGA: Non-stop 24 Jam, Hari Musik Nasional 2024 di Surabaya Semarak dengan 30 Penampil Pihak keluarga juga menyayangkan keterangan dari Rendra Bagus Pamungkas, pemeran utama Wage dalam film Wage. "Rendra mengatakan dalam tabloid terbitan 2017 bahwa sebelum berproses syuting ia tabur bunga di makam WR Supratman di Desa Somongari, Purworejo. Lho sejak kapan makamnya pindah? Makamnya kan di Surabaya sini," ungkapnya sambil menunjuk pusara WR Supratman. Tak heran, dengan alasan-alasan yang didukung bukti sejarah itulah film Wage dilarang diputar. Termasuk tidak di peringatan Hari Musik Nasional 2024 di Surabaya. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha)