Ini kenyataan yang sangat penting. Bukan karena kebutuhan atas pangan yang tercukupi. Melainkan membaurnya warga negara untuk saling merekatkan kesatuan berbangsa. Mereka merasakan nikmatnya Ramadan dan teduhnya muslim dalam membersamai saudaranya yang nonmuslim.
Dalam war takjil terdapat kasunyatan yang jualan muslim dan yang beli takjil nonmuslim. Begitu juga sebaliknya. Mudah ditemukan di sentra-sentra jualan di semua wilayah metropolitan ataupun di tingkatan kabupaten-kabupaten.
Muslim dan nonmuslim bertemu dalam ruang Ramadan. Dipersatukan oleh kebutuhan bersama yaitu menikmati sajian jajanan takjil.
War takjil menyuguhkan fakta betapa sekat sosial atas nama ras, agama, dan suku bangsa telah mencair, melumer menjadi adonan kental yang meneguhkan keberadaan warga manusia. Sesama manusia penghuni Nusantara telah menyatukan jiwa dan rohani pesonanya.
AMBIL KESEMPATAN: Di pasar takjil yang menjadi suasana musiman saat Ramadan, para pembeli takjil bukan hanya mereka yang berpuasa tapi juga nonmuslim seperti Angela yang membeli takjil gorengan di Bazar Ramadhan Masjid Baiturrozaq Citraland Surabaya. --
Untuk hari ini -termasuk mereka yang sangat berbeda pilihan dalam Pilpres 2024 tempo hari- sudah dapat makan takjil bareng, duduk bareng, ngobrol bareng. Sangat dewasa berdemokrasi dan kian menggumpalkan kemanusiaannya yang utuh.
War takjil selaksa agen pergerakan yang melambangkan keindahan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. NKRI menjadi panggung persatuan dan Ramadan memberikan keajaiban sosial itu.
BACA JUGA: Khasanah Ramadan (10): Takjil Penebar Persatuan
Dalam konteks ini saya teringat filosofi Suku Amungme yang telah dikenal luas: “te aro neweak lamo”. Ungkapan menunjukkan tingkat magis yang luar biasa. Suatu penggambaran hubungan yang tiada batas antarwarga Papua (baca Indonesia) dengan hamparan tanah dan gunung yang kaya raya.
Te aro neweak lamo yang berarti “alam adalah diriku aku adalah tanah”. Sebagaimana dalam buku Quo Vadis Papua yang ditulis putra Papua Freddy Numberi.
Dengan ungkapan itu telah terkisahkan berderet cerita. Berjajar pelajaran dan bertumpuk dongeng serta berpendar teladan atas relasi yang sangat ritmis dalam Ramadan ini.
War takjil yang telah memberikan banyak fantasi dengan keragaman hayatinya. Kesadaran tertinggi yang dapat dipetik pastilah bahwa war takjil dalam Ramadan ini harus dilanjutkan di luar Ramadan. Dirawat dan terus disyukuri tanpa henti untuk memenuhi kebutuhan seluruh anak negeri.
Keriuhan massal antarwarga dengan isu muslim-nonmuslim tidak lagi dipertentangkan. Melainkan dimaknai paseduluran-nya. Kata kawan dari Bumi Cendrawasih ada ungkapan: “hat hinda an ninda” (hatimu, hatiku) bertautlah dalam war takjil. Subhanallah. (Suparto Wijoyo)