Pada 1885, Kartini diterima di sekolah dasar Eropa, Europeesche Lagere School (ELS). Pada masa itu, kaum bangsawan melarang keras puteri-puterinya untuk keluar rumah, apalagi pergi ke sekolah dan belajar bersama anak laki-laki.
Kartini cukup populer di ELS karena sifatnya yang luwes, ceria, dan pandai. Keberadaannya di ELS menarik perhatian banyak orang Eropa. Karena Kartini adalah siswi pribumi yang mahir berbahasa Belanda.
Kemampuan bahasa Belanda tersebut tidak didapat secara instan. Kartini rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda. Serta berlatih berbicara dalam bahasa tersebut saat bermain atau menerima tamu-tamu Belanda di rumah.
BACA JUGA:6 Ide Kegiatan Lomba Hari Kartini Bagi Gen Z
Asing di Rumah Sendiri
5 SIKAP RA Kartini yang bisa diteladani dan diterapkan dalam keseharian. Foto: Kartini kecil bersama orang tuanya, RA Sosroningrat dan Ngasirah.-Arsip Nasional-
Pada awal 1892, Kartini lulus dari ELS dengan nilai yang memuaskan. Dia berharap ayahnya akan mengizinkannya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Tetapi permintaan itu ditolak dengan tegas oleh Bupati RM Sosroningrat. Penolakan itu menjadi titik awal "penjara" dan perjuangan Kartini.
Diasingkan di dalam rumah sendiri, Kartini dipaksa untuk menjadi puteri bangsawan yang patuh dan selalu diam seperti boneka.
Meskipun demikian, Kartini tetap aktif berkorespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Dari sinilah, Kartini mulai tertarik pada pemikiran perempuan Eropa dan memutuskan untuk berusaha memajukan perempuan pribumi.
Pada usia 20 tahun, Kartini gemar membaca surat kabar, majalah kebudayaan Eropa, serta karya-karya sastra. Seperti De Stille Kracht oleh Louis Couperus. Juga karya-karya Van Eeden, Augusta de Witt, dan berbagai roman feminis, semuanya dalam bahasa Belanda. Selain itu, dia juga membaca karya-karya Multatuli seperti Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
BACA JUGA:Sambut Hari Kartini, Hutama Karya Resmikan Fasilitas Daycare Untuk Karyawan
Kartini mulai memiliki pemahaman yang luas tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, khususnya dalam masalah emansipasi wanita, dengan membandingkan antara wanita Eropa dan wanita pribumi pada masa itu.
Selain itu, Kartini juga memperhatikan masalah sosial. Baginya, wanita perlu mendapatkan kesetaraan kebebasan, otonomi, dan kesetaraan hukum.
Pemikiran dan keluhan atas kondisi wanita pribumi ini disampaikan Kartini kepada dua teman wanita Belandanya, Rosa Abendanon dan Estelle 'Stella' Zeehandelaar, yang mendukung gagasan-gagasannya.
Pernikahan Kontroversial
5 SIKAP RA Kartini yang bisa diteladani dan diterapkan dalam keseharian. Foto: Kartini akhirnya menikah dengan Bupati Rembang.-Historia-