Laporan Haji 2024 (28): Jamaah Haji Asal Aceh Terima Rp 6,5 Juta dari Wakaf Habib Bugak Asyi

Rabu 05-06-2024,13:12 WIB
Reporter : Tomy Gutomo
Editor : Tomy Gutomo

"Habib Bugak sangat cinta kepada kita semua. Maka dari itu berdoalah (untuk beliau)," ucap Syekh Abdul.

"Posisi kita sekarang sebagai tamu Allah. Apa yang kita doakan Allah akan kabulkan doa kita. Apa yang kita minta Allah kabulkan doa kita. Yang menurut kita mustahil, bagi Allah tidak mustahil," imbuhnya.

Dia juga berpesan kepada para jamaah haji asal Aceh untuk selalu menjaga waktu. Manfaatkan waktu selama di Tanah Suci ini untuk beribadah dan berbuat kebaikan.

"Kalau lah di negeri kita di Aceh kita banyak makan, banyak bicara. Tetapi ketika kita berada di Kota Makkah sedikitkanlah hal itu. Perbanyaklah ketaatan kepada Allah SWT," katanya.

BACA JUGA:Laporan Haji 2024 (24): Masjid Qiblatain, Saksi Bisu Perubahan Arah Kiblat

BACA JUGA:Laporan Haji 2024 (21): Sewa Sepeda Listrik di Madinah, Hemat Ongkos Taksi

Wakaf itu berawal dari ikrar yang dilakukan oleh Habib Bugak Al Asyi dua abad lalu. Kala itu pada tahun 1800-an, Habib Bugak yang berasal dari Arab Saudi pergi ke Aceh.

Saat berada di Aceh, Habib Bugak memiliki gagasan untuk mengumpulkan uang untuk membeli tanah di Makkah untuk diwakafkan kepada jamaah haji asal Aceh. Dana tersebut berasal dari uang Habib Bugak dan juga urunan dari masyarakat Aceh kala itu.

Pada masa lalu perjalanan haji dilakukan menggunakan kapal laut, yang memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. Tak sedikit pula jamaah haji yang kemudian menetap di Arab Saudi. Saat itu bahkan belum ada Kerajaan Arab Saudi seperti sekarang ini. Indonesia juga belum terbentuk. Makkah masih dikuasai Turki Ustmani.

Ketika Habib Bugak berangkat ke Tanah Suci, dia sudah membawa bekal dana untuk wakaf. Dan begitu sampai, niatan wakaf itu direalisasikannya. Dia membeli tanah yang lokasinya kala itu persis di samping Masjidilharam.

Di atas tanah itu didirikan penginapan untuk jamaah asal Aceh. Tujuannya jamaah tak lagi bingung mencari tempat tinggal selama berada di Makkah.

Ketika Turki pergi, pemerintahan berganti. Pemerintah kala itu kemudian melakukan penataan dan perapian administrasi. Setiap tanah termasuk tanah wakaf harus ada penanggungjawabnya. Harus ada satu nama yang bertanggung jawab.

Para tokoh yang ikut menyumbang dana untuk tanah wakaf itu kemudian bersepakat agar Habib Bugak menjadi penanggung jawab dari tanah itu. Habib Bugak sempat menolak karena takut di kemudian hari dana wakaf diambil keluarganya. Sebab dia ingin dana wakaf ini murni digunakan untuk kepentingan jamaah Aceh.

Akhirnya di depan mahkamah pencatatan wakaf, dimasukkanlah syarat mengenai penggunaan tanah wakaf itu maupun hasil uang dari pengelolaannya. Habib Bugak--yang akhirnya setuju namanya dipakai sebagai penanggung jawab--dalam ikrarnya menyatakan bahwa wakaf itu hanya diperuntukkan kepada jemaah asal Aceh.

Syarat wakaf itu mengingat hanya untuk jemaah haji asal Aceh. Baik mereka yang sudah menjadi warga negara di Saudi maupun yang statusnya mukimin.

Lalu saat Masjidilharam direnovasi, tanah wakaf ini termasuk digunakan untuk perluasan lintasan tawaf. Oleh nadzir (pengelola) wakaf, uang ganti rugi digunakan untuk membeli dua bidang tanah di kawasan yang berjarak 500-an meter dari Masjidil Haram. Tanah itu dibangun hotel oleh pengusaha dengan sistem bagi hasil. Dari situ lah, 'bonus' untuk jemaah Aceh mengalir tiap musim haji.  (*)

Kategori :