SURABAYA, HARIAN DISWAY - Pemkot Surabaya mempertimbangkan untuk membangun Autonomous Rapid Transit (ART) sebagai langkah mengurai kemacetan Kota Surabaya.
ART dipilih karena harganya yang lebih murah dibanding membangun sistem transportasi berbasis rel seperti LRT atau MRT.
ART merupakan sebuah kereta otomatis yang terdiri dari tiga gerbong. Tidak seperti transportasi massal konvensional, ART menggunakan lintasan virtual di jalan raya. Tidak memerlukan rel, roda besi, atau kabel.
ART sendiri rencananya akan diadopsi oleh Ibukota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
BACA JUGA:Kereta Otonom IKN Mengaspal Agustus 2024, Begini Penampakannya
Dengan kapasitas 300 penumpang dan kecepatan maksimum 70 kilometer per jam, ART dianggap sebagai alternatif, dibandingkan proyek Mass Rapid Transit (MRT) atau Light Rail Transit (LRT).
Tentu ini karena Autonomous Rapid Transit dinilai lebih rasional dan ekonomis, sesuai dengan ketersediaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
BACA JUGA:Tantangan Proyek MRT di Surabaya Sangat Kompleks
BACA JUGA:Kereta Autonomous Rail Transit (ART) IKN Siap Diuji Coba Pada Agustus 2024
"Kalau ART itu pakai magnet, ternyata itu harganya Rp 500-600 miliar per 7 kilometer," kata Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.
Sebaliknya, pembangunan MRT memerlukan anggaran sekitar Rp 2,3 triliun per 1 kilometer, sedangkan LRT sekitar Rp 800 miliar per kilometer.
Ilustrasi MRT.-Kemenhub-
Dengan APBD Kota Surabaya sebesar Rp10,9 triliun, pembangunan MRT atau LRT akan menguras anggaran.
"Habis anggarannya, terus untuk pengentasan kemiskinan bagaimana? Banyak orang bertanya kok tidak membangun, karena tidak mungkin," imbuhnya.
Eri juga menyoroti perbedaan anggaran antara Surabaya dan Jakarta. Meskipun Surabaya merupakan kota metropolitan, besaran anggaran yang tersedia jauh berbeda. "Jakarta APBD besar," celetuk Eri.