Dalam pidato pengukuhannya, Sunarto memaparkan tentang Makna Penegakan Hukum dan Keadilan dalam Perkara Perdata. Dalam pandangan Sunarto, hukum sesungguhnya bukan sekadar aturan atau bentuk regulasi untuk memastikan sistem dan tertib sosial berjalan dengan baik, tetapi hukum hadir untuk memastikan keadilan dapat benar-benar dirasakan masyarakat.
Di Indonesia, hukum adalah panglima sehingga asas equality before the law yang berarti semua manusia sama di hadapan hukum akan bisa rakyat Indonesia rasakan. Secara garis besar, terdapat tiga komponen hukum yang memerlukan pembenahan bersama untuk menuju Indonesia Maju 2034.
Tiga komponen itu adalah substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Setiap aturan hukum yang diberlakukan harus relevan dan bisa dirasakan manfaatnya bagi seluruh rakyat Indonesia dengan setara. Untuk memastikan hal itu, peran dan kehadiran hakim sungguh sangat strategis.
BACA JUGA: Guru Besar Asli dan Aspal
BACA JUGA: Guru Besar hanya untuk Kampus Besar?
Penegakan hukum yang konsisten dan mampu melindungi warga masyarakat dibutuhkan untuk menjamin rasa keadilan. Para hakim, dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki, dituntut untuk mampu menerapkan hukum untuk menjamin rasa keadilan yang berlaku bagi semua warga masyarakat.
Dalam berbagai kasus, hakim memang bisa saja belum maksimal dalam menjalankan peran mulianya. Secara garis besar, menurut Sunarto, ada beberapa faktor yang menyebabkan peran hakim belum seperti yang diharapkan.
Pertama, hakim terlalu sempit atau kaku dalam memaknai penegakan hukum dan keadilan.
Kedua, hakim bersifat pasif dalam membantu para pencari keadilan dan pasif dalam berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan.
Ketiga, hakim hanya fokus pada penemuan kebenaran hukum formal –tetapi mengabaikan substansi hukum yang berkeadilan.
Secara teoretis, fungsi kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yudisial dalam penegakan hukum dan penemuan hukum. Selama ini, diakui atau tidak, masih ada kontradiksi antara teori dan praktik hukum acara perdata di Indonesia.
Keinginan masyarakat untuk memperoleh keadilan, tidak sekali-dua kali, masih belum semua terpenuhi karena adanya perilaku sebagian hakim yang belum menjamin rasa keadilan.
Seberapa pun banyaknya aturan telah dirumuskan, semua akan sia-sia tatkala hakim tidak mampu bersikap empatif, tegas, dan bersikap adil atas perkara yang diputuskan. Para hakim yang berdedikasi harus mampu merumuskan hukum yang digali dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat atas suatu sengketa yang belum diatur hukum positif atau sudah diatur tetapi belum jelas.
Dengan demikian, masyarakat dapat memperoleh rasa keadilan dan implikasinya keputusan hakim tersebut dapat dijadikan salah satu sumber hukum atau menjadi hukum baru (judge made law). Dalam hal ini, hakim yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman melakukan penemuan hukum guna mencapai putusan yang adil.
Tugas hakim yang mulia adalah menciptakan hukum yang dibutuhkan tatkala ditemui ada kekosongan hukum. Sesuai tradisi hukum yang berlaku, hakim wajib mengutamakan penerapan hukum tertulis, kecuali jika akan menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum.
Posisi dan tugas hakim bukanlah mulut atau corong undang-undang, melainkan mulut-corong keadilan. Seorang hakim yang berdedikasi niscaya tidak akan tunduk pada tekanan dan bergantung pada kepentingan komersial.