Love Scamming dari LP Cipinang

Sabtu 29-06-2024,02:00 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Ortu keder. Jumlah tebusan tak terlalu banyak untuk ukuran pemerasan. Tapi, ya… kalau setelah dibayar video langsung dihapus. Nah, seandainya tidak dihapus? Bisa jadi pemerasan berulang-ulang. Sebaliknya, seumpama si pemeras tidak ditransfer, juga bahaya. Si pemeras sudah punya tiga nomor teman sekolah AN.

Minggu pagi, 9 Juni 2024, ortu transfer Rp 100 ribu ke rekening BCA pemeras. Pemerasnya bawel. Minta tambah transferan. Ortu langsung lapor polisi. Mungkin, ortu mengalkulasi, dengan transferan segitu, setidaknya pemeras bakal menunda menyebar kebugilan itu. Sambil menunggu tambahan transferan.

Laporan ditangani Direktorat Siber Ditreskrimsus Polda Jabar. Kagak pakai lama. Sekejap, posisi pemeras diketahui, di LP Cipinang. 

Jules: ”Lalu, penyidik Polda Jabar  berkoordinasi dengan pihak Kemenkum HAM, juga dengan pihak LP Cipinang. Akhirnya MA kami tetapkan tersangka.”

Tersangka tidak perlu ditangkap karena sudah penghuni penjara. Tinggal perkaranya diproses. Tersangka disangkakan Pasal 4 dan Pasal 5 UU RI No 12 tahun 2022 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. 

Jules: ”Hasil penyelidikan dan penyidikan, tersangka MA merupakan narapidana kasus yang sama di LP Cipinang. Ia divonis hukuman sembilan tahun penjara. Baru dijalani hukuman setahun delapan bulan.”

Cocok dengan adagium ”sekali penjahat tetap penjahat”.

Soal, mengapa Cakra bisa main medsos dan menggunakan HP, yang berdasarkan peraturan hal itu dilarang? Itu urusan Kemenkum HAM dan kepala LP Cipinang. Tapi, model begitu sangat banyak di penjara Indonesia. 

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), napi dibolehkan pakai HP dan main medsos di beberapa negara bagian dari 50 negara bagian di sana. Itu berkat ”perjuangan” aktivis HAM di sana.

Dikutip dari The Guardian Senin, 3 Oktober 2016, berjudul Online Behind Bars: If Internet Access is a Human Right, Should Prisoners Have It?, disebutkan, dulunya (sebelum 2016) napi di sana dilarang membawa HP, laptop, atau alat komunikasi lain. Namun, berkat ”perjuangan” aktivis HAM di sana, akhirnya HP dan medsos dilegalkan buat napi sana.

Dave Maass, peneliti investigasi untuk kelompok kampanye Electronic Frontier Foundation (EFF), menyatakan, di dunia yang makin ditentukan oleh teknologi sekarang (2016), penolakan akses internet mempersulit narapidana untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan di luar. Padahal, tujuan pemenjaraan adalah pembinaan napi agar setelah bebas penjara kelak, napi bisa hidup bermasyarakat secara normal. 

Larangan napi menggunakan medsos bakal mempersulit mereka melaporkan kondisi di dalam penjara atau berkomunikasi dengan keluarga mereka. 

Begitulah gaya pikir aktivis negara maju. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata tinggi.

Terpenting, kata Dave Maass, larangan napi bermedsos bertentangan dengan deklarasi PBB yang diterbitkan Mei 2011. Bahwa akses internet adalah hak asasi manusia yang mendasar.

Dave: ”Di sebagian besar negara maju, akses internet adalah hal yang lumrah. Google, Amazon, Facebook alat komunikasi, hiburan, belanja, dan pendidikan istimewa, yang banyak dari kita anggap remeh. Kecuali jika Anda penghuni penjara.”

Seiring waktu, AS berubah. Akibat banyaknya napi menyalahgunakan medsos untuk melanggar hukum, kini muncul usulan masyarakat agar napi dilarang membawa HP, apalagi main medsos. Mereka balik lagi ke zaman kegelapan.

Kategori :