Love Scamming dari LP Cipinang

Sabtu 29-06-2024,02:00 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Dikutip dari The Guardian Selasa, 28 Mei 2024, berjudul The US Might Restrict Social Media in Prisons and Inmates are Worried: ”I may Lose My Voice Soon”, disebutkan, napi bakal dilarang main medsos.

Disebutkan: ”Usulan perubahan peraturan penjara di AS mengancam akan menghukum narapidana jika menggunakan media sosial atau mengarahkan orang lain untuk melakukannya atas nama mereka. Sehingga memutuskan apa yang dipandang sebagian orang sebagai hubungan penting dengan dunia luar.”

The Guardian memuat hasil wawancara dengan seorang ibu di Texas yang putranyi dipenjara. Sekilas kisahnya sendu sekali.

Adalah Delores Eggerson, perempuan usia 75, yang mengelola akun medsos putranya, AnDreco Lott. AnDreco dipenjara seumur hidup sejak 2001 di Penjara Arkansas, AS. Sehari-hari Delores mengisi akun Facebook AnDreco itu. Dan, selama ini AnDreco bisa melihat unggahan mamanya itu, yang berada di rumah di Manville, Texas. Dengan dm eikian, ibu-anak itu merasa selalu terhubung. 

Delores suka mengambil screenshot pesan dari teman sekelas AnDreco atau foto dari reuni keluarga. Lalu, setelah melihat unggahan tersebut, AnDreco menelepon mamanya, mengomentari unggahan tersebut.  

Delores: ”Saya sangat gembira ketika ia menelepon dan berkata: Mom... saya sudah melihat fotonya. Siapa di foto ini? Mendengar itu, saya gembira. Itu memberi kami rasa kebersamaan.”

Nada pada narasi naskah The Guardian cenderung menentang usulan masyarakat tentang larangan napi main medsos. The Guardian tentu berpihak kepada pemikiran mayoritas warga AS yang liberal demokratis. Demi meraih simpati pembaca.

Ilustrasi di AS itu pasti tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Sebab, budaya dan (terutama) tingkat pendidikan masyarakat kita jauh di bawah AS. Contohnya, kasus Cakra bisa diamati dari dua sisi: Sisi tersangka dan kepolosan korban. 

Tersangka penjahat kambuhan, korban adalah gambaran generasi remaja kita yang dalam bermedsos masih setingkat bayi. (*)

 

Kategori :