Keberimbangan Berita di Tengah Bengisnya Tentara Zionis Israel

Minggu 21-07-2024,14:23 WIB
Oleh: Yayan Sakti Suryandaru

Pemberitaan Palestina versus Zionis Israel disajikan dengan framing yang berbeda oleh media Barat seperti CNN, Fox News, dan lainnya. Publik disajikan berita dari sisi Zionis Israel dengan semua argumen pembenarannya. 

Penderitaan rakyat Palestina digambarkan sebagai akibat dari ulah gerakan milisi Hamas dan gerakan milisi Hizbullah. Tentara Israel digambarkan sebagai pihak yang merespons serangan milisi.

Gambaran senada muncul dalam pemberitaan konflik Papua di media massa Australia. Konflik di Papua digambarkan media massa asal Australia dari sudut pandang kelompok Bintang Kejora. Tentara Indonesia dianggap kejam dan warga Papua dipotret berada dalam penderitaan. 

Kondisi itu merugikan publik yang memiliki akses terbatas terhadap saluran komunikasi massa. Mereka yang bisa menikmati akses internet secara mudah bisa mendapatkan ragam pilihan pemberitaan melalui streaming media massa dengan framing dari kedua pihak. 

Bagi publik yang hanya mampu mengakses media massa nasional lewat televisi, misalnya, ragam pilihannya sangat terbatas. Mereka bisa ”dikendalikan” televisi. Sudah barang tentu agenda setting televisi tidak berkesesuaian dengan pilihan masyarakat sebagai pemirsa. 

AGENDA KE DEPAN

Ada berbagai hal yang bisa dilakukan ke depan. Pertama, mengutip Christ Frost (2015) dalam buku berjudul Journalism, Ethics and Regulation, jurnalis memerlukan konsep yang lebih luas dari sebuah netralitas untuk berlaku adil terhadap para konsumen berita. 

Jurnalis perlu ingat bahwa publik berhak untuk mengetahui situasi dari berbagai sisi. Di sanalah jurnalis perlu mengingat lagi kewajiban untuk cover both sides. Sekali lagi, memberikan keberimbangan dalam berita yang dihasilkan.

Kedua, publik perlu cerdas dalam mengonsumsi konten media massa, termasuk berita. Diakui, opini yang dimiliki jurnalis sangat mungkin dicampuri pandangannya terhadap sebuah fakta. 

Literasi media sangat penting dalam situasi ini. Publik perlu proaktif mencari sudut pandang lain dari berita-berita yang diterima di media massa, tak menelan bulat-bulat apa pun yang diberitakan. Sumber informasi lain selain media massa perlu menjadi sandingan saat berupaya memahami pokok masalah dari konflik yang diberitakan. 

Terakhir, perlu ada ruang diskusi yang mudah diakses publik dalam membicarakan berbagai berita, terutama yang berunsur konflik. Forum diskusi akan memberikan ruang bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan informasi dari media massa yang tak terjangkau olehnya sehari-hari. 

Bisa saja diskusi itu berkembang menjadi forum yang bersifat crowdsourcing  yang telah dibuktikan melalui berbagai penelitian menjadi salah satu strategi penting, bahkan efektif dalam menghalau hoaks. (*) 


Yayan Sakti Suryandaru, dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga, Surabaya.--

 

Kategori :