Dilanjut: ”Di dalam hasil visum et repertum, dinyatakan bahwa matinya korban disebabkan lever korban mengalami pendarahan yang disebabkan benda tumpul.”
Dilanjut: ”Dari visum tidak menunjuk siapa pelakunya, tapi dari CCTV, kemudian kronologi perkara kan tidak ada pelaku lain selain si terdakwa. Karena di dalam keterangannya itu diterangkan, sebelumnya antara terdakwa dan si korban telah cekcok.”
Sebaliknya, hakim dalam amar putusan menyatakan, kematian korban bukan disebabkan perbuatan terdakwa. Melainkan, karena minuman alkohol. Itulah yang dianggap janggal.
Basuki: ”Pertanyaannya, majelis hakim berpendapat seperti itu dasarnya apa? Adakah ahli yang menerangkan itu di persidangan? Kan fakta persidangan tidak ada kesimpulan tersebut. Atau setidaknya, ada dokter yang barangkali pernah merawat si korban bahwa korban itu sebelumnya menderita penyakit tertentu sehingga kalau dia minum alkohol menyebabkan mati. Juga, tidak ada hal ini di persidangan.”
Akhirnya: ”Putusan tersebut tidak berdasarkan pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan. Sehingga vonis itu tidak berdasar hukum.”
Pernyataan pihak Kejagung dan guru besar hukum pidana Unair itu intinya sama: vonis hakim tidak berdasar hukum (fakta persidangan). Maka, vonis itu tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Ada pembunuhan, pembunuhnya dibebaskan hakim.
Media massa gencar memberitakan itu. Semua mengkritik Erintuah Damanik. Bahkan, ada media massa yang mengungkap nilai harta Erintuah Damanik, total senilai Rp 8 miliar. Dengan judul berita: Wow… Harta Hakim Fantastis.
Harta hakim Erintuah pasti tidak terkait langsung dengan vonis bebas yang dijatuhkan hakim terhadap Ronald. Kecuali, seandainya terjadi penyuapan terkait vonis tersebut. Toh, media massa itu juga tidak menyebut adanya penyuapan di kasus tersebut.
Dikutip dari web resmi Mahkamah Agung RI, 14 Oktober 2010, berjudul Mewujudkan Putusan Berkualitas yang Mencerminkan Rasa Keadilan karya Prof Paulus E. Lotulung disebutkan demikian:
Pandangan positivisme hukum berpengaruh terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum. Karena hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada saat ia melaksanakan fungsi yudisialnya terikat pada penerapan hukum positif. Dengan begitu, hakim di dalam penegakan hukum sebatas berfungsi sebagai penegak undang-undang.
Pandangan positivisme hukum melahirkan legisme hukum pada hakim. Di sini peran hakim hanyalah ”corong undang-undang” (la bouche de la loi). Ia hanya subsumptie automat penerap undang-undang. Sehingga penegakan hukum oleh hakim dalam proses peradilan tidak sama dengan penegakan keadilan. Sebab, hakim hanya mengedepankan kepastian hukum melalui pendekatan legalistik formal pada ketentuan undang-undang.
Akibatnya, dalam penegakan hukum jika hakim hanya memperhatikan kepastian hukum, unsur keadilan akan terabaikan. Sebab, di dalam putusannya hakim hanya menerapkan undang-undang dan hasilnya adalah kebenaran formal.
Hakim tinggal mencari dan menemukan hukum pada undang-undang untuk diterapkan dalam peristiwa konkret yang telah dibuktikan adanya dalam proses peradilan. Tidak peduli, apakah ketentuan hukum yang terdapat dalam pasal-pasal undang-undang yang diterapkan tersebut memenuhi rasa keadilan atau tidak, bermanfaat atau tidak, bagi pencari keadilan.
Secara proses hukum (peradilan), sikap hakim yang seperti itu tidak salah. Kecuali, di dalamnya ada pelanggaran prosedur hukum acara yang dilakukan (unprofessional conduct). Atau, ada pelanggaran perilaku hakim pada saat melakukan fungsi yudisialnya. Misalnya, menerima suap. Barulah hakim tersebut dikenai sanksi, baik administrasi maupun pidana.
Ketika naskah itu dipublikasi, Prof Paulus menjabat ketua muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Vonis Ketua Majelis Erintuah Damanik dianggap masyarakat tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hal itu, menurut Prof Paulus dalam tulisannya tersebut, hakim tidak salah. Sebab, hakim cuma corong undang-undang. Bertugas berdasar ketentuan undang-undang. Bukan penegak keadilan. Dengan demikian, ia tidak peduli pada rasa keadilan masyarakat.