“Kalau yang satunya tukang kulakan ke pimpinan DPRD yang punya jatah dana hibah itu. Lalu proyek itu dijual lagi ke Madura,” tutur sumber yang tak mau disebut identitasnya kepada Harian Disway, Selasa, 30 Juli 2024.
Menurutnya, jumlah tersangka tidak akan berhenti pada 21 orang. Bisa lebih banyak lagi. Sebab, kasus semacam ini hanya bisa dikerjakan secara sindikat.
Fasad gedung DPRD Jawa Timur di Jalan Indrapura, Surabaya. KPK terus mengusut kasus suap dana hibah Pemprov Jatim yang menyeret sejumlah wakil rakyat.-M Sahirol Layeli -
“Indrapura (sebutan Gedung DPRD Jatim) itu tempat kulakan proyek, semacam pasar pokmas (kelompok masyarakat),” jelasnya. Sebanyak 21 orang yang dicekal itu berasal dari satu surat perintah penyidikan (sprindik). Padahal, imbuhnya, akan ada setidaknya lima sprindik lagi yang menyusul.
Anggota DPRD Jatim Matur Khusyairi pun menganggap demikian. Sebab, sifat kasus itu masih dalam pengembangan. Levelnya dari pimpinan bisa turun ke bawahan: pimpinan fraksi sampai komisi.
BACA JUGA:Kasus Dana Hibah Jatim Diobok-obok Lagi setelah 1,5 Tahun, KPK: Ada Belasan Ribu Pokir
BACA JUGA:Menguak Peran 4 Tersangka Kasus Dana Hibah dari DPRD Jatim
“Mudah-mudahan tidak. Kita berharap nggak sampai situ ya, nanti bisa habis seperti kasus DPRD Kota Malang,” jelasnya saat dihubungi, tadi malam. Ia pun siap bila dipanggil KPK untuk memberi keterangan. Terutama menyangkut dana hibah yang ia salurkan kepada konstituen.
Namun, Mathur berharap KPK bisa melakukan penyidikan secara berimbang. Artinya, tidak hanya melalui pintu legislatif. Melainkan juga pintu eksekutif.
Penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasukkan koper kedalam mobil uasi menggeledah Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (21/12/2022) malam. -Julian Romadhon-
Sebab, kata Mathur, anggaran dana hibah bukan urusan DPRD semata. DPRD Jatim hanya mendapat pagu Rp 2 triliun. Sisanya, sekitar Rp 3 triliun dikoordinir langsung oleh gubernur dan wakil gubernur yang saat itu menjabat: Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak.
“Yang nggedok anggaran juga legislatif dan eksekutif. KPK nggak fair kalau tidak memeriksa eksekutif,” jelas politikus Partai Keadilan Bintang Nurani itu. Apalagi, gubernur dan wakil gubernur lah yang memberi SK kepada para kelompok masyarakat (pokmas) yang mengusulkan proyek dana hibah itu. (*)