“Kalau kemudian dinormalisasi dan tidak ada yang mempersoalkan, itu masalah besar. Tetapi mempersoalkan saja, tanpa mengurai dari mana akarnya dan bagaimana kita bisa menemukan solusi dari persoalan itu, juga tidak kalah penting,” ujar Vika, sapaannya, kepada Harian Disway, Senin, 29 Juli 2024.
Yang jarang dibahas tuntas, Vika mengatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia lebih berfokus pada standar-standar yang sifatnya administratif. Seperti akreditasi, pengisian borang, kemudian jumlah penelitian harus sekian per tahun.
Mahasiswa juga dituntut berprestasi, tanpa melihat kapasitas mahasiswa itu sendiri. Ini menjadi persoalan besar yang tidak boleh disepelekan. Sistem pendidikan Indonesia seharusnya tidak lagi memandang individu secara kuantitatif.
“Mahasiswa tidak diperlakukan sebagai manusia dalam Pendidikan Indonesia. Mereka diperlakukan sebagai angka-angka, lulus sekian, DO berapa, sistem pelaporan seperti itu,” kata Vika memberikan komentar menohok.
Menurut Vika, praktik perjokian muncul ketika mahasiswa menganggap skripsi sebagai sebuah beban. Mahasiswa tidak mengerti esensi dari skripsi, sehingga melemparkan tanggung jawabnya kepada orang lain.
BACA JUGA:WN Tiongkok Jadi Joki Tes Bahasa Inggris di Surabaya
BACA JUGA:Serial Dimaz Muharri (5): Bayar Joki Pakai Sepatu Basket
Dalam pemahaman mahasiswa pengguna joki, skripsi semata-mata sebagai syarat lulus. Tidak peduli siapa yang mengerjakan, asal lulus. Sungguh pemikiran yang keliru.
Perlu disepakati bersama, industri joki tugas dan skripsi bisa mendegradasi moral mahasiswa sebagai penerus bangsa. Kita pun menyadari bahwa semua pihak berkontribusi dalam menciptakan kultur perjokian ini.
Selembar ijazah seorang sarjana. Saat ini praktik perjokian merambah ke banyak sektor di kampus.-Julian Romadhon/Harian Disway -
“Orang tua nggak boleh menyalahkan kampus. Kampus juga nggak boleh nyalahin mahasiswa. Mahasiswa nggak boleh nyalahin pihak-pihak lain. Masing-masing harus introspeksi diri untuk membangun sebuah orientasi baru. Yakni orientasi riset,” tandas dia.
Pertanyaannya kemudian, mengapa normalisasi joki terjadi? Apa karena saking banyaknya permintaan? Atau ada statement dari otoritas pendidikan bahwa perjokian itu sah saja? Itu potret buram pendidikan kita. (*)