Berdasar riset Quarterly Informal Economy Survey (QIES) oleh World Economics 2021, aktivitas ilegal UE terjadi di hampir semua negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang.
Persentase potensi penerimaan negara dari UE terhadap PDB bervariasi. Namun, secara umum dinyatakan bahwa UE di negara maju sebesar 15–20 persen dari PDB. Sementara itu, di negara berkembang, nilainya mencapai 30–40 persen dari PDB.
Di negara-negara Asia sendiri, urutan pertama ditempati negara Afghanistan sebesar 72%, disusul India 52,4%, Myanmar 49%, Thailand 42,6%, Kamboja 40,9%, Filipina 34,1%, Malaysia 25,3%, Indonesia 22,7%, Vietnam 20,5%, Tiongkok 12,7%, Singapura 10,4%, dan Jepang 9,6%.
BACA JUGA: Ekonomi Makan Tabungan
BACA JUGA: Surabaya Menuju Ekonomi Hijau
Bahkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan, nilai UE di Indonesia mencapai 30–40 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Taksiran itu melebihi data QIES dan Biro Pusat Statistik tahun 2021 yang mencapai kisaran angka konservatif, yakni 10–15 persen dari PDB.
Karena itu, PPATK menggunakan patokan Internasional sebesar 30–40 persen. Akan tetapi, kalau mengacu ke PDB tahun 2020 yang nilainya sebesar Rp 15.434,2 triliun, artinya nilai shadow economy di Indonesia mencapai Rp 4.630,5 triliun sampai dengan Rp 6.173,6 triliun.
Jika Indonesia adalah negara berkembang dengan PDB atas dasar harga berlaku tahun 2021 mencapai Rp 16.970,8 triliun, nilai UE Indonesia bisa mencapai Rp 5.091 triliun, dalam nilai minimum.
Hal itu bukan tidak mungkin. Pasalnya, PPATK mencatat transaksi keuangan mencurigakan selama 2022 mencapai 1.215 laporan dengan nilai Rp 183,8 triliun.
Besarnya porsi UE merupakan tantangan bagi pemerintah. Sebab, jika tidak segera diantisipasi, fenomena itu dapat mengganggu ekonomi Indonesia yang dapat tumbuh di bawah potensi riil.
NIHILISME TOLERANSI
Terdapat beberapa faktor yang dapat diidentifikasi sebagai pendorong pertumbuhan UE.
Pertama, beban pajak yang tinggi. Tingginya beban pajak yang harus dibayar pelaku usaha formal dapat mendorong mereka untuk mencari cara lain menghindari pembayaran pajak.
Hal itu terjadi karena para pelaku usaha merasa bahwa beban pembayaran pajak yang tinggi tidak sebanding dengan manfaat yang mereka terima dari pemerintah (tax redistribution).
Kedua, regulasi yang sangat birokratis. Regulasi yang kompleks dan berbelit-belit dapat menjadi hambatan bagi para pelaku usaha formal.
Ketika mereka menghadapi kesulitan dalam mematuhi semua persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan pemerintah, timbul kecenderungan memilih alternatif cara lain untuk mencari jalan pintas dengan melakukan aktivitas ilegal atau beroperasi di sektor bawah permukaan.