Kemerdekaan Perempuan Indonesia

Rabu 21-08-2024,09:30 WIB
Oleh: Alfiah Sufiani*

Laporan 2024 juga memasukkan bunuh diri akibat kekerasan berbasis gender (gender base violenceinstigated suicide) sebagai bentuk femisida tidak langsung. Pantauan terhadap bunuh diri akibat KBG itu menjadi penting sebagai upaya refleksi atas pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. 

Dalam kasus tertentu, korban dimungkinkan telah melaporkan kekerasan yang dialaminya di institusi penegak hukum atau layanan korban sebelum bunuh diri. Namun, kelambatan respons dapat memicu adrenalin mereka, apakah akan bunuh diri atau belum.

INDONESIA KEKINIAN

Pada lingkup mikro, sel terkecil itu bernama rumah. Rumah idealnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak. Termasuk dari tindak kekerasan fisik, mental, dan seksual. Perlu dicermati kembali apakah pemerintah melalui kementerian terkait selama ini telah menjadikan aspek pencegahan itu sebagai salah satu fokus dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. 

Termasuk potensi laki-laki yang ada di rumah tersebut untuk melakukan KBG di tempat kerja ataupun tempat lainnya. Simbiosis rumah yang aman yang berada di lingkup desa atau komunitas yang dijalankan melalui program Qoryah Toyyibah ’Aisyiyah (QTA) diharapkan menjadi kondisi ideal masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu dapat terwujud.

Faktanya tidak demikian. Ada beberapa variabel yang menjadi pemicu dasar kondisi belum merdekanya kaum perempuan Indonesia kekinian, yaitu variabel kemiskinan dan variabel pola pikir.

Variabel kemiskinan berada di jalur struktural yang kontrol mitigasinya ada di pemerintah. Sementara itu, variabel pola pikir berada di jalur kultural yang dapat dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, ormas, dan seluruh stakeholder negeri ini yang memiliki visi yang sama untuk membangun kekuatan civil society untuk membangun peradaban baru.

Aisyiyah dan Muhammadiyah yang berusia lebih dari satu abad, yang masih tegak berdiri dengan sangat kokohnya, seharusnya menjadi rahim yang dengannya lahir tokoh-tokoh bangsa, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh penggerak sosial. Amanah terberat bagi warga Aisyiyah adalah memainkan bandul demokrasi dengan cara yang paling elegan. Para kader Aisyiyah diberi amanah yang tidak mudah oleh para pendahulu Aisyiyah. 

Sebagaimana di mars, amanah itu adalah: 1. membina harkat kaum perempuan; 2. ⁠menjadi tiang utama negara; 3. ⁠di tangan para warga Aisyiyah tergenggam nasib bangsa; 4. ⁠membangun negara, mencipta masyarakat Islam sejati, penuh karunia; 5. ⁠menyebarluaskan agama. Itulah kapital terbesar warga Aisyiyah dalam mewujudkan masyarakat madani menuju peradaban baru. 

Permasalahannya, pemerintah yang memiliki kuasa penuh dalam memitigasi variabel struktural dan variabel kultural tidak terlalu suka jika ruang-ruang yang tersedia itu terlalu gaduh karena terlalu banyak suara sumbang dan suara sumbang itu akhirnya dibekap atas nama keseragaman dan kesunyian.

Kalaupun ada orkestrasi, orkestrasi itu harus dilakukan pihak yang dipercaya penuh oleh pemerintah agar bisa menyajikan orkestrasi (demokrasi) yang seragam.

Pada titik itulah, turbin demokrasi tidak lagi berputar untuk bisa menopang pilar demokrasi agar bisa tegak dengan kokoh. Makanya, tidak heran, kasus-kasus kekerasan terahadap perempuan dan anak dan kasus-kasus hukum berbasis gender naik dari waktu ke waktu.  

Perlindungan hukum pada perempuan dan anak-anak mengalami stagnasi, kebijakan pemerintah makin tidak pro perempuan dan anak. Keterlibatan perempuan di dunia politik tidak pernah mencapai 30 persen dan jumlah perempuan dalam wilayah pengambilan keputusan dan kebijakan tidak pernah mendekati angka ideal. 

Media yang seharusnya menjadi penyeimbang ternyata larut menjadi bagian dari pemerintah yang bermain dalam orkestrasi yang selalu seragam. Itulah runtuhnya bangunan demokrasi yang seharusnya produktif. 

Bayangkanlah, ketika kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan bermunculan, ”tokoh” yang bersuara dan ”diikuti” pendapatnya oleh netizen adalah orang-orang yang tanpa ada kurasi media, tapi sangat ”berpengaruh” karena memiliki pengikut yang banyak tetapi tidak dilandasi ideologi tertentu. Akhirnya, yang sering kali terjadi adalah energi yang ada berubah menjadi energi gerak dan energi bunyi yang semburat ke mana-mana.

Idealisme dan ideologi dalam menyikapi dan menuntaskan kasus-kasus kekerasan pada perempuan dan anak-anak serta kurangnya perlindungan hukum pada perempuan yang menjadi korban kekerasan merupakan wilayah yang tidak boleh abu-abu. Itulah wilayah para aktivis perempuan dari organisasi perempuan melakukan kerja potensialnya, memitigasi risiko pada korban, dan terus mendorong pemerintah agar produksi kebijakan tidak mencederai kemuliaan perempuan.

Kategori :