DALAM beberapa pekan terakhir, silih berganti persoalan perempuan dan anak di negeri yang 70 persen lebih penduduknya beridentitas Islam di KTP. Perlu early warning terkait bentuk kekerasan berbasis gender (KBG), khususnya KDRT, yang berpotensi mengarah pada femisida yang bisa dicegah.
Perempuan sangat dimuliakan di Islam. Allah memberikan ruang yang luas bagi perempuan agar perempuan bisa mengeksplorasi kemampuan dirinya sehingga dapat memberikan kontribusi terbaik untuk umat dan bangsa. Namun, yang terjadi di negeri ini, cita-cita memuliakan perempuan perlu dikejar dengan upaya lebih.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, ada delapan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan terhitung sejak Januari hingga Agustus 2024. Artinya, dalam setiap bulan setidaknya ada satu kasus terjadi di lembaga pendidikan.
BACA JUGA: Pertamina Renjana Cita Srikandi, Wujud Kebangkitan Perempuan Indonesia
BACA JUGA: Milad ke-105 ’Aisyiyah; Pertanda Bangkitnya Perempuan Indonesia
Dari delapan kasus kekerasan seksual (KS) yang semua dalam proses hukum, menurut catatan FSGI, ada sebelas pelaku dengan korban mencapai 101 anak di bawah umur. Adapun korban KS di satuan pendidikan, ternyata korban anak laki-laki lebih banyak daripada korban anak perempuan. Dari 101 korban, 69 persen anak laki-laki dan 31 persen anak perempuan. Sementara itu, 72 persen pelaku KS adalah guru laki-laki dan 28 persen murid laki-laki
Di sektor penyelenggaraan pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari. Sanksi tersebut diberikan karena Hasyim terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) melakukan tindakan asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda.
Belum selesai pemberitaan sanksi kepada ketua KPU, publik dikejutkan dengan pemberitaan meningkatnya kasus femisida. Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya, didorong oleh perasaan superior, dominasi, dan misogini.
BACA JUGA: Dewi Susilo Budihardjo Wakil Tionghoa di Perempuan Indonesia Berkebaya Pengawal Bendera Pusaka
Pemberitaan kasus pembunuhan perempuan meningkat tajam. Mulai pembunuhan perempuan hamil hingga yang dibuang di Pulau Pari. Dari proses penyaringan pemberitaan sepanjang September 2022 hingga Juni 2024, terdapat lebih dari 200-an pemberitaan yang mengindikasikan tindakan femisida.
Di antaranya, ada eskalasi kekerasan, kekerasan berulang dan berlapis, maskulinitas yang toksik, dan relasi kekuasaan yang berkekerasan. Pantauan juga mengikutsertakan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan sebagai akibat kekerasan berbasis gender terhadapnya (Komisioner Komnas Perempuan, 2024).
Femisida terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Jenis femisida intim menempati pemberitaan tertinggi, yaitu pembunuhan yang dilakukan suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi. Mencapai 67 persen dari keseluruhan kasus femisida yang diberitakan.
Femisida nonintim yang dilakukan tetangga, orang tidak dikenal, teman, kakak kelas, dan sopir angkot terkait dengan motivasi untuk melakukan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) pelaku kepada korban yang menyatakan penolakan atau melakukan perlawanan.
Femisida jenis lainnya yang terjadi ialah femisida oleh anggota keluarga, femisida di industri seks, femisida terhadap penyandang disabilitas, femisida di wilayah konflik, dan femisida dengan tuduhan guna-guna.