Sebaliknya, kekuasaan yang dipahami sebagai kenikmatan akan dapat menjerumuskan yang berkuasa dan masyarakat karena perbuatan yang dilakukan.
Kekuasaan yang dipahami sebagai kenikmatan akan berdampak pada psikologi kepribadian yang bersangkutan manakala masa kekuasaannya akan berakhir, mengalami ketakutan kehilangan kekuasaan dan kewenangan (syndrome power), dan lain sebagainya.
Dengan begitu, yang terjadi, penguasa merasa seakan-akan masih memiliki kewenangan tanpa batas dan bersikap tidak legawa kalau kekuasaannya selesai.
Apabila seseorang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, yang bersangkutan akan merasa bahagia apabila kekuasaannya akan berakhir karena amanah telah selesai ditunaikan dengan baik dan dapat menjaga titipan dengan tanggung jawab.
Bahkan, walaupun sudah tidak memiliki power lagi, pemimpin yang demikian masih memiliki pengaruh dan wibawa.
Sebaliknya, pemimpin yang memahami kekuasaan sebagai kenikmatan, apalagi kelihatan tidak legawa atas kekuasaannya yang berakhir, maka ketika power tidak lagi dimiliki, pengaruhnya pun tidak ada lagi. Bahkan, wibawanya pun juga tidak ada dan akan menjadi memori negatif di tengah masyarakat.
MASLAHAT DAN MAFSADAT
Saya berbaik sangka seseorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, baik dalam pemerintahan, partai politik, organisasi, perguruan tinggi, maupun organ-organ lainnya, memiliki iktikad baik hendak memberikan kontribusi terbaik dalam kepemimpinan yang diemban.
Iktikad baik tersebut berdampak secara positif terhadap kepemimpinan yang diemban berada dalam posisi yang benar (on the track) sebagaimana yang dijanjikan. Akan tetapi, dalam perjalanan berikutnya, banyak tantangan yang dihadapi seorang pemimpin yang berkuasa. Yaitu, harta, takhta, wanita/pria.
Pemimpin yang sedang berkuasa diuji dalam menghadapi situasi seperti itu, apakah tetap on the track atau sebaliknya.
Untuk tetap berada pada posisi on the track, diperlukan human capital berupa karakter dan integritas. Menurut para ahli kepribadian, kunci keberhasilan adalah kejujuran dan tanggung jawab.
Human capital macam itulah yang menjadi kekuatan utama seorang pemimpin dalam membentengi dan memproteksi diri dari berbagai godaan seperti yang telah dikemukakan.
Namun, dalam realitasnya, sebagian pemimpin di Indonesia, baik dalam pemerintahan (menteri, kepala daerah, dan jabatan lainnya) maupun institusi lainnya, terjebak dalam godaan yang akhirnya membawa mafsadat (keburukan) bagi yang bersangkutan dan bangsa.
Itulah sisi lain dari kekuasaan kalau tidak dijalankan dengan amanah akan dapat menjerumuskan pemimpin yang bersangkutan. Sebaliknya, pemimpin yang mengemban kekuasaan dengan amanah akan dapat mendatangkan maslahat (kebaikan) bagi pemimpin yang bersangkutan dan bangsa.
Dua sisi kekuasaan yang dampaknya apakah menjadi maslahat atau mafsadat bergantung pada karakter dan integritas seorang pemimpin.
Di tengah tantangan dan sekaligus godaan yang dihadapi oleh seorang pemimpin dalam semua lini, kekuatan karakter dan integritaslah yang menentukan sisi kekuasaan menjadi maslahat. Sebaliknya, ketiadaan karakter dan integritas pada seorang pemimpin yang berkuasa akan membuat sisi kekuasaan menjadi mafsadat.