Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

Sabtu 24-08-2024,23:36 WIB
Oleh: Muhammad Turhan Yani*

Politik tampaknya menjadi magnet untuk bersinggah bagi sebagian orang. Jika dibandingkan dengan profesi lain, menjadi politisi tampaknya lebih menarik bagian sebagian orang. Oleh karena itu, banyak yang berduyun-duyun masuk ke dalamnya, sebagian dari purnawirawan, akademisi, dan dari profesi mentereng lainnya. 

Bahkan, ada yang masih aktif, tapi tertarik politik, sehingga keluar dari pekerjaannya. Bahkan, sebagian orang menggantungkan hidup matinya dalam politik. Artinya, nasibnya digantungkan pada politik.

Saking lengketnya dalam politik, jatuh bangun dalam perpolitikan tidak menjadi jera. Memang naluri seseorang apabila telah mencintai sesuatu, termasuk mencintai politik, pengorbanan dalam bentuk apa pun akan dilakukan. Bahkan, dampaknya, ada sebagian yang masih merasa memiliki power dan pengaruh kuat dalam perpolitikan walaupun sudah tidak lagi berkuasa.

HAPARAN PADA PEMERINTAHAN BARU

Menjelang pemerintahan baru hasil Pemilu Presiden 2024 yang ditandai pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024, akan digantungkan harapan-harapan besar nasib bangsa Indonesia kepada pemimpin baru. 

Setelah pelantikan, ada penyusunan kabinet yang saat ini sedang dalam proses penjaringan, penyaringan, dan pertimbangan lainnya, kelak diserahkan sepenuhnya kepada presiden sebagai konsekuensi dari hak prerogatif yang dimiliki. 

Kini masyarakat dalam posisi menanti susunan kabinet yang akan mendampingi presiden dan wakil presiden terpilih. Sebagian aktor politik yang terlibat sebagai tim sukses dan koalisi melakukan pendekatan-pendekatan kepada sumber kekuasaan untuk keperluan posisi yang akan ditempati kader yang dijagokan melalui lobi dan kalkulasi politik lainnya untuk lima tahun ke depan.

Secara teoretis, kekuasaan didefinisikan sebagai kedudukan atau posisi yang memiliki kekuatan untuk mengikat, bahkan memaksa (otoriter), semua pihak yang berada dalam wilayah yang dikuasai. Seorang pemimpin yang menduduki kekuasaan ada kalanya memiliki sikap bijaksana, ada kalanya memiliki sikap otoriter. 

Dalam konteks kepemimpinan nasional di Indonesia, masyarakat dapat menilai seperti apa gaya dan tipe kepemimpinan para pemimpin nasional mulai negara ini berdiri sampai saat ini.

Dalam praktiknya, kekuasaan memiliki dua sisi berdekatan tetapi pada titik poin yang berbeda. Titik poin itu berdampak pada arah atau tujuan berbeda pula. 

Kekuasaan bagaikan pisau tajam yang siap mengantarkan seseorang pada kedudukan mulia apabila kekuasaan itu dipahami sebagai amanah untuk mengubah menjadi maslahat (keadaan menjadi lebih baik dan mewujudkan keadilan sosial). 

Di sisi lain, kekuasaan siap menghunus pemiliknya atau yang sedang berkuasa apabila kekuasaan itu menjerumuskan dirinya dan masyarakat (mafsadat) akibat dari keserakahan pemimpin.

Kekuasaan yang dipahami sebagai suatu amanah akan dapat menumbuhkan sikap arif dan bijaksana. Sebaliknya, kekuasaan yang dipahami sebagai kenikmatan menjadikan pribadi yang angkuh dan otoriter karena yang bersangkutan merasakan kenikmatan belaka atas kekuasaan itu. 

Akibatnya, yang terjadi adalah perbuatan semena-sema saat berkuasa. Sosok pemimpin demikian tidak baik bagi Indonesia. Demokrasi Pancasila telah merumuskan kriteria pemimpin dengan mengacu pada nilai-nilai luhur Pancasila sebagai persyaratan yang wajib dimiliki. 

Lima sila Pancasila sebagai landasan utama dan penting diwujudkan dalam kepemimpinan nasional dan kepemimpinan dalam semua lini.

Dua sisi kekuasaan memiliki konsekuensi berbeda. Apabila dipahami sebagai amanah, kekuasaan akan menjadi memori positif dalam sejarah bangsa karena telah memberikan warna dan kontribusi dalam pembangunan nasional. 

Kategori :