PBB Akui KhawatirkanHukum Moralitas Afghanistan yang Diratifikasi Otoritas Taliban

Senin 26-08-2024,10:26 WIB
Reporter : Tri Septi Hari Nikita*
Editor : Heti Palestina Yunani

HARIAN DISWAY - Misi PBB di Afghanistan khawatir dengan undang-undang moralitas yang baru-baru ini diratifikasi oleh otoritas Taliban. Mereka juga mengkritik beberapa peraturan pembatasan. Khususnya terhadap perempuan.

Pernyataan itu dikeluarkan pada Minggu, 25 Agustus. Melansir dari AP, pada Rabu, 21 Juni 2024, otoritas Taliban telah mengumumkan pembuatan undang-undang (UU) dengan terdiri dari 35 pasal.

Di dalamnya merinci berbagai perilaku dan pembatasan gaya hidup berdasarkan interpretasi mereka yang ketat terhadap hukum Islam. UU tersebut menetapkan hukuman bertingkat untuk ketidakpatuhan. Mulai dari peringatan lisan dan ancaman.

BACA JUGA: UNESCO: 1,4 Juta Anak Perempuan Kehilangan Hak Pendidikan di Bawah Kekuasaan Taliban

Juga tentang denda hingga penahanan dengan jangka waktu berbeda yang akan ditegakkan oleh polisi moralitas di bawah Kementerian Penegakan Kebenaran dan Pencegahan Kejahatan atau Ministry for the Propagation of Virtue and the Prevention of Vice.

Jika disimak, isi UU tersebut sangat membtasi gerak perempuan. Dikatakan bahwa perempuan harus menutupi wajah dan tubuh mereka jika mereka meninggalkan rumah. Serta memastikan suara mereka tidak terdengar.

“Ini adalah visi yang menyedihkan bagi masa depan Afghanistan. Para pengawas moral memiliki wewenang untuk mengancam dan menahan siapa pun berdasarkan daftar pelanggaran yang luas dan terkadang tidak jelas,” ujar Roza Otunbayeva.

BACA JUGA: Indonesia Kirim Bantuan USD 1 Juta untuk Korban Gempa di Afghanistan

Kepala Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) itu mengatakan bahwa setelah puluhan tahun perang dan di tengah-tengah krisis kemanusiaan yang mengerikan, rakyat Afghanistan berhak mendapatkan yang lebih baik.

"Daripada hanya diancam atau dipenjara hanya karena mereka terlambat salat, melirik lawan jenis yang bukan anggota keluarga, atau memiliki foto orang yang mereka cintai,” ujar Otunbayeva.

Bahkan suara perempuan di luar rumah pun dianggap sebagai pelanggaran moral. Otunbayeva mengatakan bahwa UU tersebut memperluas pembatasan yang sudah tidak dapat ditoleransi terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan Afghanistan.

BACA JUGA: Presiden Lepas Bantuan Kemanusiaan Untuk Afghanistan dan Papua Nugini


Pejuang hak perempuan Afganistan dan aktivis sipil melakukan protes menyerukan kepada Taliban untuk meneruskan prestasi mereka dan pendidikan, di depan istana kepresidenan di Kabul, Afganistan tahun lalu. Foto: ANTARA FOTO/REUTERS/JAWAPOS--

Sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, banyak komponen hukum yang telah diberlakukan secara informal dan masih belum jelas apakah aturan formal mereka akan mengarah pada penegakan hukum yang lebih ketat.

Dampaknya, perempuan telah menanggung beban terberat dari pembatasan yang disebut PBB sebagai “apartheid gender” atau deskriminasi gender. Hal ini sekaligus telah menyingkirkan mereka dari kehidupan publik.

Kategori :