Dari ayah dan dari membaca literatur, Dwi Santi Rahayuningsih memperoleh wejangan yang termaktub dalam Zeng Guang Xian Wen (增广贤文), kitab berisi pitutur luhur yang dikompilasi selambat-lambatnya pada masa pemerintahan Kaisar Wanli dari dinasti Ming (1563–1620).
Bunyinya begini, "不怕慢,只怕站" (bù pà màn, zhǐ pà zhàn). "Artinya, jangan takut tumbuh perlahan, takutlah hanya berdiri diam," kata Santi, yang berprofesi sebagai bankir di bank internasional.
Memang, kalau cuma berdiam dan pasrah, adalah hil yang mustahal kita bisa tiba di tujuan. Pelan-pelan tak masalah. Asal dikerjakan. Alon-alon waton kelakon. Sebagaimana diingatkan Xunzi, filsuf yang kira-kira lebih muda dua ratus tahun dari Konfusius, "故不积跬步, 无以至千里;不积小流,无以成江海" (gù bù jī kuǐ bù, wú yǐ zhì qiān lǐ; bù jī xiǎo liú, wú yǐ chéng jiāng hǎi): kalau tidak selangkah demi selangkah, tak akan mencapai ribuan kilometer; kalau tidak menampung air yang mengalir sedikit demi sedikit, tak akan tercipta sungai atau lautan.
Tentu, bila bisa lebih cepat pergerakannya, akan jauh lebih baik. Terutama tatkala mengejar ketertinggalan. Seperti dikatakan Deng Xiaoping saat doeloe berkunjung ke Jepang dan melihat Tiongkok yang ketinggalan di belakang, "Kita tidak bisa lagi mengejar dengan berlari. Kita harus terbang!"
Manusia pun demikian. "Sebagai manusia, kita harus setiap hari growth, bertumbuh. Jangan berpikir menjadi sempurna dulu, tetapi selalulah berpikir untuk menjadi lebih baik dari kemarin. Setelah lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya, barulah kita berpikir untuk berkontribusi terhadap sesama. Itulah esensi hidup. Pantang diam dan tidak bertumbuh," terang Santi.
Intinya, laiknya petuah yang sering Anda dengar, pepatah Tiongkok klasik juga mewanti-wanti kita untuk "勇往直前" (yǒng wǎng zhí qián): maju tak gentar. (*)