PENURUNAN harga barang-barang terus berlanjut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Agustus lalu terjadi deflasi 0,03 persen. Itu menjadi deflasi month-to-month empat kali berturut-turut. Pada Mei, Indonesia mengalami deflasi 0,03%, Juni 0,08%, dan Juli lalu 0,18%.
Deflasi berturut-turut tersebut tentu menjadi pertanda tidak baik. Sebab, dalam sejarah, keadaan seperti itu hanya terjadi pada saat kondisi ekonomi sangat buruk. Pada 1999 seusai krisis ekonomi 1998, krisis keuangan 2008, dan krisis akibat pandemi Covid-19 tahun 2020.
Bagi Indonesia yang ekonominya didominasi konsumsi rumah tangga, deflasi menandakan penurunan konsumsi. Itu akan berlanjut pada penurunan permintaan terhadap barang konsumsi.
BACA JUGA: Indonesia Alami Deflasi 4 Bulan Berturut-Turut, Ini Deretan Dampaknya Ke Daya Beli Masyarakat
BACA JUGA: BPS Mencatat Indonesia Alami Deflasi 4 Bulan Berturut-turut
Dalam jangka panjang, itu bisa berdampak serius karena juga akan menurunkan investasi. Terutama investasi pada sektor konsumsi seperti consumer goods, manufaktur, dan properti. Itu juga akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya pengangguran.
Jika itu terjadi, perekonomian Indonesia dalam jangka panjang akan mengalami penurunan serius. Jika tidak bisa ditangani dengan baik, itu akan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Sebenarnya deflasi juga bisa berdampak positif. Penurunan harga-harga barang menjadikan daya beli masyarakat terjaga. Dengan deflasi, berarti masyarakat akan mampu membeli barang-barang konsumsi relatif sama dengan empat bulan yang lalu.
Masyarakat rentan miskin pun terjaga. Mereka masih mampu membeli barang-barang konsumsi, terutama makanan yang sangat penting bagi mereka. Menurut data BPS, garis kemiskinan didominasi garis kemikisnan makanan.
Garis kemiskinan per Maret 2024 adalah Rp 582.932 per kapita per bulan dengan garis kemiskinan makanan mencapai 74,44 persen (Rp 433.906). Garis kemiskinan non makanan adalah Rp 149.026 atau 25,56 persen.
Lalu, apa penyebab deflasi beruntun? Yang pasti, daya beli masyarakat melemah. Gelombang PHK dan meningkatnya pengangguran membuat banyak kelas menengah mengalami penurunan kelas.
Lemahnya daya beli sudah terlihat dari konsumsi rumah tangga pada triwulan pertama dan kedua. Secara kwartalan, pertumbuhannya hanya 4,9 persen. Itu turun dari pertumbuhan konsumsi sebelum Covid-19 yang minimal 5 persen. Padahal, pada kuartal I dan II tahun ini, terjadi momen Lebaran dan pemilu yang seharusnya mendongkrak konsumsi.
Apa pun, tren pelemahan konsumsi itu harus menjadi alarm bagi pemerintah. Sebab, ekonomi Indonesia didominasi konsumsi rumah tangga. Pada triwulan I tahun ini, konsumsi tercatat menyumbang 54,93 persen produk domestik bruto (PDB). Penurunan konsumsi akan berdampak serius terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Selain itu, penanganan deflasi relatif lebih sulit bila dibandingkan dengan inflasi. Bagi investor, deflasi dapat berarti penurunan nilai investasi seperti saham dan obligasi. Ketika nilai saham, obligasi, realestat, dan komoditas jatuh, kepemilikan uang tunai relatif meningkat. Hal itu mengakibatkan berkurangnya investasi, yang berpotensi mengakibatkan penurunan lebih lanjut dalam harga aset.
Ketika deflasi berlangsung terlalu lama, laba perusahaan mulai menurun. Kondisi ekonomi perusahaan untuk menjual produk mereka dengan harga yang makin rendah. Perusahaan selanjutnya akan memangkas biaya produksi, mengurangi upah karyawan, memberhentikan pekerja, dan bahkan menutup fasilitas produksi.