HARIAN DISWAY - Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan menyatakan kekhawatirannya mengenai Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait industri tembakau yang dianggap dapat merugikan berbagai sektor.
Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi Forum Legislasi DPR RI bertema “Mengkaji Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Terkait Industri Tembakau” yang di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 September 2024.
Menurutnya peraturan Kemenkes ini tidak hanya perdampak pada ekonomi tapi juga kehidupan sosial masyarakat. Aturan yang terlalu mematikan ini cenderung mengabaikan realitas bahwa produk ini adalah sumber penghidupan bagi banyak orang.
Terutama bagi para petani tembakau dan industri terkait. Selain itu, Daniel mengkritik kebijkan yang dirasa terlalu berpusat pada pengendalian tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas.
BACA JUGA: Habis Rapat, Prabowo Selfie Bareng Ibu Negara dan Istri-Istri Menteri Kabinet Indonesia Maju
Kebijakan pemerintah seharusnya membela kepentingan rakyat. "Industri ini merupakan salah satu kekuatan Indonesia, di mana industri rokok menjadi penyumbang utama pendapatan negara," tambahnya.
Daniel juga menyoroti bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang direncanakan pemerintah akan menaikkan penerimaan cukai sebesar 5,9 persen menjadi Rp244,2 triliun, berpotensi tidak tercapai jika peraturan ini diberlakukan.
"Jika target pendapatan ini meleset, defisit anggaran akan semakin membesar," jelas Daniel. Ia juga mengatakan kekhawatiran tentang industri film dan kreatif terhadap pasal 24 dalam peraturan tersebut yang dinilai membatasi kebebasan berekspresi.
BACA JUGA: Cetak Biru Transisi Pemerintahan Jokowi ke Prabowo sudah Disiapkan
BACA JUGA: Wapres Ma’ruf Amin Gembira Dengan Capaian Kabinet Indonesia Maju: Kepuasan Masyarakat Tetap Tinggi
"Dalam konteks industri film, ada kekhawatiran bahwa konten yang terkait dengan produk tertentu, seperti tembakau, akan disensor. Ini bisa menghambat kemajuan industri kreatif kita," ujarnya.
Sejak adanya rencana aturan turunan UU No. 17 Tahun 2023 dalam PP No. 28 Tahun 2024 mengenai kebijakan standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek, industri tembakau terus menolak aturan tersebut guna mempertahankan kelangsungan industri.
Terutama di tengah ketidakstabilan ekonomi dan tingginya PHK di sektor lain. Penyusunan RPMK yang dinilai terlalu cepat sejak pengesahan PP No. 28 Tahun 2024 pada akhir Juli lalu, dianggap oleh industri sebagai tanda.
Bahwa masukan-masukan yang diberikan tidak dipertimbangkan dalam menyusun kerangka implementasi aturan di lapangan. (*)