Hal tersebut tak bisa dilepaskan dari dugaan politik cawe-cawe Presiden Jokowi. Mulai masa pencalonan sampai pemenangan anaknya di Pilpres 2024. Pelbagai praktik dugaan kecurangan pemilu itu terekam secara epik dalam film dokumenter Dirty Vote.
Cawe-cawe politik Jokowi yang eksesif itu berakibat pada rusaknya tatanan politik-hukum Pemilu 2024 dan menimbulkan suara-suara protes, terutama dari kalangan akademisi dan civil society.
Potret dugaan kecurangan yang tergambar dalam Dirty Vote baru sebagian kecil laiknya fenomena gunung es. Dengan demikian, sangat wajar, Pemilu 2024 dinilai sebagai pemilu terburuk dalam sejarah pemilu pascareformasi.
MERAWAT OPOSISI
Melihat dinamika politik pasca-Pemilu 2024 dan menjelang pilkada, yang melahirkan sentralisasi kekuatan partai poltik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, potensi akan lahirnya praktik politik-kekuasaan bercorak legalisme-otokratik makin kentara.
Praktik-praktik politik-kekuasaan dijalankan dengan menggunakan instrumen hukum yang dibuat dan dikondisikan sesuai dengan kepentingan politik elite dan oligarki. Contoh nyata dari autocratic legalism adalah pembahasan yang tergesa-gesa dan minim partisipasi atas undang-undang penting seperti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Juga, Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang meloloskan Gibran sebagi cawapresnya Prabowo serta revisi UU Pilkada yang akan mengakomodasi kepentingan politik dinasti, yang kemudian dibatalkan oleh kekuatan ekstraparlementar.
Undang-undang, yang seharusnya digunakan untuk menegakkan integritas demokrasi dan melawan korupsi, justru digunakan untuk mengukuhkan kekuasaan.
Praktik politik-kekuasaan legalisme otokratik setidaknya ada presedennya, yakni di Venezuela, di bawah kepemimpinan Hugo Chaves. Chaves atau Soeharto di era Orde Baru menggunakan instrumen hukum untuk memperkuat kekuasaannya, sering melakukan otak-atik hukum dan konstitusi melalui amandemen konstitusi dan hukum yang menguntungkan dirinya dan kelompok kepentingannya.
Praktik tersebut tentu saja akan menjadi tantangan serius dan mengancam sendi-sendi dan integritas sistem demokrasi dan HAM.
Praktik kekuasaan pemerintahan baru ke depan perlu dikontrol dan diawasi. Beberapa perilaku dan kebijakannya berpotensi mendistorsi semangat dan prinsip demokrasi yang sedang kita bangun. Karena itu, munculnya kekuatan oposisi, terutama oposisi ekstraparlementar, adalah sebuah keniscayaan politik untuk menghindarkan bangsa ini dari corak otoriatarianisme baru.
Kita sulit berharap pada kekuatan dan fungsi oposisi di parlemen yang saat ini sudah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif (baca: KIM Plus). Dengan demikian, pemeritahan baru Prabowo-Gibran berpotensi niroposisi yang kuat.
Kekuatan oposisi merupakan salah satu pilar demokrasi yang memiliki peran sangat strategis. Kita berharap agar kekuatan oposisi alternatif atau ekstraparlementer tetap eksis dan berkembang.
Kekuatan itu dapat dijalankan kalangan civil society, mahasiswa, dan kaum cerdik pandai untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Dengan demikian, ekosistem kehidupan demokrasi dapat berjalan lebih sehat.
Langkah oposisi alternatif itu (baca: oposisi ekstraparlementer) dinilai akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan. Kekhawatiran munculnya wajah pemerintahan otoritarianisme gaya baru pun akan dapat dihindari. (*)
*) Umar Sholahudin adalah wakil dekan FISIP, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.--