Merawat Demokrasi, Menghidupkan Oposisi

Senin 30-09-2024,13:39 WIB
Oleh: Umar Sholahudin*

MENJELANG berakhirnya pemerintahan Presiden Jokowi, cahaya demokrasi makin redup. Pelbagai tindakan anti dan ancaman terhadap demokrasi kerap terjadi, baik yang dilakukan elite politik negara maupun sekelompok orang yang berafiliasi dengan elite politik negara. 

Kasus terbaru, sebuah dikusi kebangsaan bertajuk Silaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional yang digelar Forum Tanah Air (FTA) di salah satu hotel kawasan Jakarta Selatan (Jaksel), Sabtu, 28 September 2024, dibubarkan secara anarkis oleh sekelompok orang tak dikenal. 

Kejadian tersebut tentu sangat memalukan dan memilukan serta menambah catatan buram demokrasi di era Presiden Jokowi. 

BACA JUGA: Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia

BACA JUGA: Pengkhianat di Tubuh Rezim dan Oposisi, Siapakah Mereka?

Kita sadar bahwa kehidupan demokrasi di negeri ini seperti masih berjalan tertatih-tatih dan sedang mengalami problem serius. Salah satunya adalah bagaimana pemimpin yang dipilih melalui mekanisme demokrasi justru dalam perkembangannya berbalik mengancam dan bahkan membunuh demokrasi. 

Praktik-praktik politik-kekuasaan yang awalnya bersahabat dengan demokrasi (friendly democracy) berujung pada upaya perusakan demokrasi (destruction of democracy) yang terstruktur, sistematis, dan masif.  

Masa trasisi demokrasi adalah masa paling krusial bagi sebuah negara yang baru lepas dari rezim otoritarian: apakah akan melaju ke arah konsolidasi demokrasi atau justru berbalik pada corak otoritarianisme gaya baru. Karena itu, demokrasi bisa saja dibunuh seorang pemimpin yang dipilih melalui mekanisme legal formal, yakni demokrasi (baca: pemilu). 

BACA JUGA:Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

BACA JUGA: Demo Tegakkan Demokrasi

Pemimpin yang kekuasaan awalnya bercorak dinilai demokratis dan diharapkan mampu merawat serta membangun ekosistem demokrasi yang sehat dan berkualitas, tetapi kemudian berubah atau berbalik menguasai pengusungnya. Kemudian, berperan sebagai demagog politik. 

Awalnya seorang pemimpin mendukung perjuangan rakyat kecil. Namun, praktik kepemimpinan dan arahannya menjadi berbahaya karena menggunakan cara-cara ketakutan, intimidasi, dan fanatisme dari orang-orang yang ingin dipimpinnya. Bahkan, berpotensi menjadi pemimpin otoriter. 

Dalam catatan global, ini ada presedennya. Levitsky dan Ziblatt dalam bukunya, Bagaimana Demokrasi Mati (2019), menyebutkan beberapa nama. Di antaranya, Benito Mussolini, Adolf Hitler, Hugo Chavez, Alberto Fujimori, dan Getulio Vargas. 

BACA JUGA: Mengoreksi Pesta Demokrasi agar Tak Menyakiti Bumi

BACA JUGA: Demokrasi Prosedural dan Substantif

Kategori :