Komunitas beranggota 40 orang itu tidak hanya diisi penyandang tunarungu. Mereka yang tidak tuli pun bergabung. Ingin belajar bahasa isyarat.
Penampilan Tari Saman dari Fira Modelling Disabilitas di acara Festival Hari Bahasa Isyarat Internasional 2024 di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, kemarin.-Dinar Mahkota Parameswari/Harian Disway-
Amel juga mengungkapkan bahwa beberapa teman tuli di komunitasnya belum fasih menggunakan Bisindo.
“Mereka biasanya menggunakan ekspresi untuk berkomunikasi,” tambahnya. Hal itu menjadi tantangan tersendiri. Sebab, Bisindo merupakan alat penting dalam komunikasi komunitas tuli di Indonesia.
BACA JUGA:Bahasa sebagai Pembentuk Peradaban (2): Alat Interaksi dan Komunikasi
BACA JUGA:Bahasa, Alat Kekuasaan di Era Orde Baru
Selain aktif di kampus, Amel juga berbagi pengalamannya saat menjadi sukarelawan di Labuan Bajo. Di sana, ia mengajarkan bahasa isyarat kepada anak-anak dan terkejut dengan cepatnya mereka belajar.
"Dalam beberapa hari saja, mereka bisa mengeja nama mereka dengan bahasa isyarat," katanya.
Pengalaman tersebut semakin memantapkan tekadnya untuk memperjuangkan penerapan Bisindo di kampus-kampus di Jawa Timur, seperti yang sudah dilakukan di beberapa universitas di Jakarta.
Maskurun, Ketua DPD Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Jawa Timur, juga berbicara mengenai pentingnya bahasa isyarat dalam kehidupan sehari-hari.
BACA JUGA:Pembekalan Public Speaking Bahasa Mandarin untuk Koko Cici Jawa Timur 2024
Sejak 2021, Maskurun telah membangun rumah mengaji bagi teman-teman tuli di Kediri. "Saya berharap adanya kolaborasi agar lingkungan pendidikan bisa jauh lebih inklusif," ucap Maskurun.
Rumah mengaji yang dipelopori Maskurun kini telah diikuti oleh puluhan orang tuli. Tidak hanya itu, Maskurun juga menjadi salah satu tim yang terlibat dalam penyusunan Alquran khusus untuk orang tuli, sebuah inisiatif dari Kementerian Agama yang didukung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Maskurun mengakui bahwa meski bahasa isyarat sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah, masyarakat masih kurang sadar akan pentingnya mempelajari bahasa ini.
“Alhamdulillah, bahasa isyarat di Indonesia, terutama di Jawa Timur, sudah disalurkan dengan baik. Namun, banyak orang tua atau masyarakat yang masih malu untuk belajar Busindo,” ungkapnya.