Selain itu, keterlibatan pemerintah dalam pengawasan produk halal harus ditingkatkan melalui inspeksi berkala dan pemanfaatan teknologi, seperti blockchain, untuk melacak kehalalan produk dari hulu hingga hilir.
KEPERCAYAAN YANG HARUS DIJAGA
Sertifikasi halal merupakan aspek penting dalam membangun kepercayaan umat. Kebocoran dalam proses itu dapat memiliki dampak luas, yang tidak hanya mengurangi kepercayaan terhadap produk, tetapi juga terhadap lembaga dan pemerintah yang mengawasi produk halal.
Jika merasa bahwa sertifikasi halal dapat diselewengkan, masyarakat akan mulai meragukan semua produk berlabel halal. Itu dapat merusak citra dan reputasi industri halal Indonesia yang selama ini dikenal sebagai salah satu yang paling ketat dan tepercaya di dunia.
Solusi untuk masalah kebocoran sertifikat halal memerlukan kolaborasi dari semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga sertifikasi, dan masyarakat. Transparansi, integritas, dan akuntabilitas harus menjadi dasar dalam sistem jaminan produk halal. Tanpa itu, esensi dari sertifikasi halal –sebagai pelindung kehalalan dan kesucian yang diamanahkan agama– akan hilang.
Salah satu akar masalah dari kebocoran itu adalah penerapan sistem self-declare oleh perusahaan. Yaitu, perusahaan mengeklaim sendiri bahwa produknya halal tanpa melalui verifikasi atau audit yang ketat oleh lembaga yang berwenang.
SEJARAH DAN REGULASI SELF-DECLARE
Sistem self-declare itu kali pertama diperkenalkan sebagai bentuk adaptasi selama pandemi Covd-19. Saat itu banyak bisnis, terutama UMKM, mengalami kesulitan dalam mengikuti prosedur sertifikasi halal yang rumit dan memakan waktu.
Untuk mendukung keberlanjutan bisnis, pemerintah memberikan kelonggaran bagi mereka untuk mendeklarasikan sendiri kehalalan produk mereka. Ide dasarnya adalah memberikan ruang gerak lebih bagi industri, terutama yang berbasis pangan, agar tetap bisa beroperasi tanpa terhambat oleh prosedur yang panjang.
Namun, di balik manfaat jangka pendek yang ditawarkan, sistem self-declare itu mulai menunjukkan kelemahannya. Produk yang tidak seharusnya lolos sertifikasi justru dapat beredar dengan label halal.
Pada akhirnya, tanpa pengawasan yang ketat, self-declare menjadi pintu masuk bagi kebocoran sertifikasi halal yang seharusnya dijaga dengan prinsip ketat berdasar standar syariah. Kelonggaran itu membuat kontrol menjadi longgar. Akibatnya, produk yang tidak layak tetap bisa mengeklaim status halal.
Penerapan self-declare di Indonesia mulai dipermudah secara formal selama pandemi untuk mempercepat sertifikasi halal bagi pelaku usaha, terutama UMKM. Kebijakan itu dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai solusi untuk membantu bisnis yang terdampak.
Meski bertujuan mempermudah, kekosongan regulasi dan kontrol yang ketat menimbulkan risiko terhadap kepercayaan publik terhadap label halal. Regulasi itu memungkinkan pelaku usaha untuk menyatakan sendiri kesesuaian produk mereka dengan standar halal tanpa melalui audit formal oleh pihak ketiga, yang dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan meski dimaksudkan sebagai langkah darurat untuk menghadapi tantangan sertifikasi halal selama pandemi.
Dari sisi syariah dan etika bisnis, self-declare menimbulkan masalah karena membuka celah bagi ketidakjujuran dan kesalahan dalam klaim kehalalan produk. Standar syariah yang ketat menuntut transparansi dan verifikasi yang cermat oleh pihak independen, bukan sekadar pernyataan dari pelaku usaha.
Dalam konteks ini, self-declare gagal memenuhi prinsip amanah (kepercayaan) karena tidak ada jaminan kehalalan yang diakui secara sah oleh otoritas.
Melihat perkembangan terbaru, banyak yang mulai mendorong agar regulasi self-declare itu dihapus atau setidaknya diperketat. Meski niat awalnya baik untuk membantu UMKM, kebocoran sertifikasi halal yang terjadi menuntut revisi besar terhadap sistem itu.