KASUS kontroversial muncul terkait sertifikasi halal untuk produk minuman beralkohol, seperti wine dan bir, yang baru-baru ini mendapatkan perhatian publik. Beberapa produk, meski secara teknis merupakan minuman beralkohol, telah diberi label halal. Itu memicu kebingungan dan kekhawatiran di kalangan konsumen muslim.
Penjelasan dari Kementerian Agama Indonesia menunjukkan bahwa sertifikasi halal dapat diberikan kepada produk yang memenuhi syarat tertentu meski produk tersebut mengandung alkohol dalam proses produksinya. Itu menciptakan tantangan besar dalam menjaga integritas label halal dan memastikan bahwa produk yang beredar di pasaran benar-benar sesuai dengan prinsip syariah.
Sertifikat halal pada wine dan bir dapat menimbulkan persepsi salah di masyarakat tentang kehalalan produk. Konsumen, khususnya umat Islam, mungkin tidak menyadari bahwa meski produk tersebut memiliki sertifikat halal, ada aspek dalam proses produksinya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai syariah.
BACA JUGA: Wapres Dorong Sertifikasi Halal UMKM
BACA JUGA: Sertifikasi Halal Gelatin dari Produk Perikanan
Hal tersebut menunjukkan pentingnya pengawasan dan transparansi dalam proses sertifikasi halal untuk memastikan bahwa produk benar-benar memenuhi standar dan tidak membingungkan konsumen.
Kasus seperti itu memunculkan sejumlah pertanyaan. Bagaimana mekanisme pengawasan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam mengawasi produk yang layak disertifikasi?
Bagaimana lembaga terkait menjamin bahwa setiap produk yang melalui proses sertifikasi benar-benar diaudit dengan saksama dan tidak ada kompromi terhadap standar halal? Adakah celah dalam prosedur yang memungkinkan produk yang tidak memenuhi syarat halal tetap memperoleh sertifikasi?
BACA JUGA: Sekjen Kemenag: Gus Men Hadiri MRA Sertifikasi Halal di Eropa dan Pertemuan Internasional Perdamaian
BACA JUGA: Pemerintah Tunda Kewajiban Sertifikasi Halal Untuk UMKM Sampai Tahun 2026
Lebih jauh, kebocoran itu mencerminkan adanya masalah fundamental dalam sistem yang telah dibangun. Mungkin ada unsur kelalaian, minimnya pengawasan, atau bahkan kepentingan komersial yang mengorbankan standar syariah demi keuntungan ekonomi. Ironisnya, itu justru bertentangan dengan tujuan utama sertifikasi halal. Yakni, menjaga kesucian dan kehalalan produk.
PENTINGNYA REFORMASI SISTEM SERTIFIKASI
Untuk mengatasi masalah kepercayaan terhadap sertifikasi halal, perlu dilakukan beberapa perbaikan.
Pertama, transparansi dalam proses sertifikasi harus diperkuat agar masyarakat, khususnya umat Islam, memahami bagaimana suatu produk memperoleh sertifikasi halal. Sertifikat harus diberikan berdasar audit ketat yang mencakup bahan baku dan seluruh proses produksi.
Kedua, pengawasan terhadap lembaga sertifikasi perlu diperketat dengan mewajibkan audit independen secara berkala untuk memastikan mereka menjalankan tugas sesuai prinsip syariah dan etika bisnis.