"Tentu ini menunjukan bahwa negara gagal didalam memenuhi kewajibannya sebagaimana termaktub dalam pasal 31 Undang- Undang Dasar 1945, Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar," tegasnya.
Hal inilah yang menjadikan anak-anak tidak bisa bersekolah di negeri karena kurangnya daya tampung. "Data BPS juga menunjukkan 60 persen sekolah-sekolah SD di Indonesia itu dalam kondisi yang rusak," katanya.
BACA JUGA: Pemerintah Perkuat Kualitas SDM Melalui Integrasi Kesehatan dan Pendidikan Vokasi
"Kemudian bagaimana ketimpangan infrastruktur sekolah yang terlihat jelas antara sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa," bongkarnya. Hal ini juga termasuk dengan akses infrastruktur digital di sekolah.
Seperti internet dan wifi di sekolah serta sarana prasarana yang memadai, termasuk komputer, laptop, dan sebagainya.
3. Tata Kelola Satuan Pendidikan
"Tata kelola guru termasuk juga tata kelola satuan pendidikan. Kalau kita berbicara guru 10 tahun di era Jokowi ya memang rekrutmen guru honorer menjadi ASN itu dilakukan," lanjutnya.
Akan tetapi, ia menyayangkan rekrutmer guru honorer hanya terbatas menjadi guru PPPK. "Hakikatnya PPPK ini adalah solusi atas kekurangan guru, tapi sifatnya jangka pendek, bukan jangka panjang," katanya.
BACA JUGA: Green Banking, Upaya Mewujudkan Dunia Menuju Nirpolusi
"Yang diharapkan oleh guru-guru honorer ya termasuk yang first graduate itu diangkat menjadi PNS tentu dengan mekanisme seleksi yang sesuai dengan amanah undang-undang ASN," lanjutnya.
"Ke depan kami berharap kepada pak menteri pendidikan yang baru Prof. Adul Mu'ti ya. Pak Prabowo untuk kembali membuka seleksi lowongan PNS, tidak hanya PPPK," tegasnya.
4. Relevansi
"Isu relevansi ini penting misalnya apakah implementasi Kurikulum Merdeka itu relevan dengan kebutuhan sekarang dan ke depan," cetusnya. Contohnya terkait pendidikan vokasi atau sekolah kejuruan yang mengedepankan praktik dibanding teori.
BACA JUGA: Shin Tae-Yong Masih Optimistis Indonesia Lolos ke Piala Dunia 2026, Ini Targetnya
Namun, data BPS mencatat bahwa lulusan SMK justru menyumbang pengangguran terbesar di Indonesia. Hal ini pun menunjukkan bahwa ada tantangan berat terkait kurikulum SMK apakah dapat diterima di dunia usaha.
"Kenapa lulusan SMK justru tidak diterima di dunia kerja? Ya ini menunjukkan bahwa kurikulum SMK itu justru tidak merespons perkembangan teknologi, kebutuhan dunia usaha, kebutuhan dunia industri," katanya.