Serupa di Maluku Utara, sebelumnya rata-rata pertumbuhan di angka 5,7 persen, setelah hilirisasi menjadi 23 persen dalam setahun.
Demikian pula, dilihat dari tingkat penyerapan tenaga kerjanya, untuk Sulteng, dari 1.800 naik menjadi 71.500 tenaga kerja. Sementara itu, di Maluku Utara, sebelum hilirisasi hanya tercatat 500 tenaga kerja dan kini melonjak menjadi 45.600 pekerja.
Setelah melakukan terobosan moratorium ekspor bijih nikel, pemerintah pun bersiap melanjutkan kebijakan hilirisasi bahan mineral lainnya, yakni tembaga dan bauksit.
Terbaru, pemerintah juga berencana menghentikan ekspor gas alam cair (LNG) untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri. Kemudian, diperluas lagi, tidak hanya dari sektor pertambangan, pemerintah juga secara eksplisit mengungkapkan rencananya untuk menghentikan ekspor bahan mentah dari sektor pertanian.
Komoditas sawit, misalnya, diarahkan untuk diproses agar menghasilkan nilai tambah yang tinggi sehingga tidak hanya diekspor dalam bentuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), tetapi mengarah pada barang jadi lainnya seperti mentega, kosmetik, ataupun bahan bakar biodiesel.
Larangan ekspor CPO itu akan diberlakukan setelah larangan ekspor bauksit mentah. Tekad pemerintah dikuatkan dengan perintah kepada jajaran departemen terkait agar menyiapkan segala mitigasi untuk menghadapi konsekuensi hukum dan ekonomi jika Indonesia telah secara penuh menghentikan ekspor bahan mentah.
SWASEMBADA ENERGI
Sejak beberapa dekade, elemen pembentuk modal produk domestik bruto (PDB), salah satunya, didominasi produk SDA berbasis bahan mentah yang diekspor. Hal tersebut tentu sangat merugikan karena potensi nilai tambah yang seharusnya bisa ditingkatkan menjadi sia-sia belaka.
Dengan hilirisasi yang merupakan proses peningkatan nilai tambah dengan mengolah atau memurnikan bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau jadi, nilai produk bahan tersebut akan makin meningkat jika dibandingkan dijual dalam bentuk mentah.
Hilirisasi juga memberikan arti penting dalam rantai pasok ekonomi karena akan menghadirkan pemasok dan industri lain, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, dan meningkatkan penerimaan pajak bagi negara.
Meski demikian, untuk mewujudkan kebijakan hilirisasi barang tambang yang berkeadilan dan berkelanjutan, tidak dapat dilepaskan dari intervensi negara. Artinya, pengelolaan SDA tidak dapat sepenuhnya diserahkan ke pasar.
Jika itu terjadi, hanya segelintir kelompok kekuatan ekonomi yang menikmati manisnya gula-gula SDA. Sebaliknya, mayoritas rakyat hanya menjadi penonton.
Sekali lagi, campur tangan negara dalam pengelolaan SDA merupakan manifestasi dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Demikian pula, pengelolaan SDA tidak mampu sepenuhnya dikelola pemerintah karena keterbatasan anggaran. Maka, peran serta sektor swasta dalam pengelolaan SDA amat diperlukan.
Kebijakan moratorium, baik untuk produk bahan tambang maupun produk pertanian, diarahkan untuk mendukung percepatan hilirisasi melalui pencapaian tiga tujuan.
Pertama, mendukung stabilitas tingkat inflasi dalam jangka pendek. Secara teknis, pengembangan hilirisasi pangan difokuskan untuk menjaga kestabilan harga dalam negeri dan mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi regional melalui pemilihan komoditas unggulan daerah.