BACA JUGA:ANTM Bantu Pemerintah Tingkatkan Ekonomi dengan Mempercepat Proyek Hilirisasi
Maka itu, ekspor bahan mentah harus dihentikan dan hilirisasi harus dilakukan besar-besaran.
Pemerintah ingin hilirisasi gencar dilakukan dengan memanfaatkan alih teknologi, tetapi tetap bijaksana dalam memanfaatkan hasil alam.
Berkaca dari rentetan era commodity boom, Indonesia harus berani mengubah struktur ekonomi yang selama ini mengandalkan komoditas dan konsumsi untuk masuk ke hilirisasi dan kemudian industrialisasi.
Kebijakan yang telah diambil semata-mata tidak ingin kehilangan momentum dan kesempatan lagi untuk mengoptimalkan nilai tambah sumber daya alam setelah era booming minyak bumi pada 1970-an dan selanjutnya batu bara era 2000-an.
BACA JUGA:PLN Dukung Hilirisasi Mineral, Pasok Listrik 110 MVA ke Smelter Freeport Gresik
BACA JUGA:AHY Sebut Program Hilirisasi Warisan SBY
Oleh karena itu, dalam strategi besar bisnis negara yang pernah disampaikan para ekonom, hilirisasi menjadi jalan yang ditujukan untuk keluar dari jebakan negara pengekspor bahan mentah, kemudian mempercepat revitalisasi industri pengolahan.
Bahkan, saat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan Uni Eropa soal keputusan Indonesia menghentikan ekspor bijih nikel dan ditambah Dana Moneter Internasional (IMF) menentang kebijakan hilirisasi tersebut, Indonesia tidak gentar.
Bagi Indonesia, siapa pun, negara mana pun, dan organisasi internasional mana pun, tidak bisa menghentikan keinginan Indonesia untuk melakukan terobosan dengan gebrakan hilirisasi dari ekspor barang mentah ke barang setengah jadi atau barang jadi karena ingin menciptakan nilai tambah terbangun di dalam negeri.
Nilai tambah yang diperoleh dari kebijakan hilirisasi memang berdampak besar. Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, jika berupa bijih nikel, harganya hanya 30 dolar AS per ton. Maka, saat diolah lebih lanjut menjadi nickel pig iron (NPI), harganya naik 3,3 kali lipat menjadi 90 dolar AS per ton.
Selanjutnya, apabila berupa ferronickel, harga nikel ore naik 6,76 kali atau menjadi 203 dolar AS per ton, lalu menjadi produk nikel matte naik 43,9 kali lipat menjadi 3.117 dolar AS per ton, dan dijadikan mix hydro precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai meningkat 120,94 kali menjadi 3.628 dolar AS per ton.
Terlebih, jika terdapat pabrik baterai yang mengubah bijih nikel menjadi LiNiMnCo, di Indonesia, nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat.
Saat ini terdapat 34 smelter nikel yang sudah beroperasi dan 17 smelter sedang dalam konstruksi yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Banten (Kemenperin 2023).
Investasi yang telah dibenamkan di Indonesia dari smelter tersebut sebesar 11 miliar dolar AS atau Rp 165 triliun untuk jenis pyrometalurgi dan 2,8 miliar dolar AS atau Rp40 triliun untuk hydrometalurgi yang memproduksi MHP sebagai bahan baku baterai.
Keberadaan sejumlah smelter tersebut turut mendongkrak perekonomian daerah. Di Sulteng, pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 7 persen menjadi 15 persen.