Saya bertanya-tanya, "Kok bisa? Kecelakaan di mana? Kapan itu? Kenapa bisa terjadi?"
Suami saya menjawab, “Sabar, toh. Kalau kamu tanya begitu, bagaimana aku menjawabnya?”
Setelah mendapatkan jawaban, saya langsung mencari berita tentang kecelakaan di Kedungdoro dan terdiam membaca berita tersebut.
BACA JUGA:Tawuran Bukan Kultur Surabaya, Psikolog Herlina Jelaskan Pergeseran Perilaku Remaja
Dengan kesedihan yang mendalam, saya berandai-andai… Andai Bu Sri hidup seperti dalam drama Korea Selatan, di mana orang-orang yang menikmati minuman beralkohol memiliki kesadaran untuk tidak mengemudi sepulangnya.
Dalam drama-drama tersebut, digambarkan bahwa orang yang minum memanggil sopir untuk mengemudikan mobil mereka.
Saya juga membayangkan, andai Bu Sri hidup seperti dalam film Hollywood, di mana mobil terpantau oleh aparat melalui CCTV, lalu terlaporkan jika berjalan zigzag atau melampaui kecepatan wajar, dikejar oleh mobil sirene dan dihentikan.
Mungkin mobil itu tidak sampai menabrak warung tempat Bu Sri dan Pak Sugiono makan. Mungkin, hanya mungkin…
Namun, saya tersadar, Bu Sri tidak hidup dalam drama atau film. Ia tinggal di Surabaya dan sedang makan di warung di Jalan Kedungdoro ketika ajal tiba.
Bu Sri dan Pak Sugiono meninggalkan tiga orang anak. Anak sulungnya kuliah semester 8 dan saat ini sedang cuti, seorang putri yang bersekolah di kelas 9 SMP, dan putra bungsunya yang baru kelas 7 SMP.
Masa depan yang masih panjang kini tiba-tiba menjadi beban bagi ketiga anak tersebut, yang menjadi yatim piatu.
Hidup mati memang takdir, tetapi saya masih bertanya-tanya. Berapa banyak alkohol yang diminum pengemudi mobil itu?
Apakah tidak ada yang mencegahnya mengemudikan mobil? Apakah malam itu tempat ia berpesta hanya menjual kesenangan tanpa memikirkan dampak bagi orang lain?
Saya juga bertanya-tanya…
Apakah pada dini hari itu CCTV kota dan semua petugas masih beristirahat, sehingga tidak mendeteksi adanya mobil yang dikendarai ugal-ugalan? Kesedihan ini membuat saya bertanya-tanya dan berprotes dalam hati…