Hasilnya demikian:
Dalam percobaan pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki kekuasaan tinggi mengambil keputusan antisosial pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada pemimpin yang memiliki kekuasaan rendah.
Percobaan kedua lebih rumit: kami menambahkan komponen waktu dan memantau perbedaan individu peserta sebagai prediktor perilaku mereka.
Sebelum menjadi pemimpin atau pengikut, kami meminta peserta untuk memberikan suara tentang apa yang harus dilakukan seorang pemimpin yang bertanggung jawab berkenaan dengan pembayaran.
Sebagian besar mendukung opsi prososial; hanya 3,33 persen yang mengatakan bahwa para pemimpin harus mengambil keputusan antisosial.
Namun, ketika mereka menjadi pemimpin, para peserta menyerah pada efek kekuasaan yang koruptif. Menariknya, orang-orang yang jujur awalnya terlindungi dari pengambilan keputusan yang antisosial.
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka pun tergelincir ke dalam lereng kekuasaan yang licin dan korup. Intinya, akhirnya mereka yang semula tidak korup lama-lama jadi korup.
Riset tersebut diterbitkan di jurnal ilmiah Leadership Quarterly sekolah bisnis University of Lausanne, tempat Prof Antonakis mengajar.
Jadi, kewenangan mutlak para petugas Komdigi yang ditugasi memblokir situs judol pasti korup, apalagi tanpa mekanisme kontrol. Perilaku korup itu terjadi ketika Komdigi (Kemenkominfo) dipimpin menteri Budi Arie Setiadi yang sepekan lalu ditunjuk Presiden Prabowo Subianto menjadi menteri koperasi.
Menkop Budi Arie Setiadi ketika ditanya wartawan tentang hal itu pada Selasa, 5 November 2024, menjawab begini: ”Saya sekarang fokus koperasi dan urus rakyat.”
Didesak pertanyaan wartawan lagi, ia tetap menjawab: ”Saya sekarang fokus urus rakyat.”
Tidak ada pertanyaan lagi yang bisa diajukan kepadanya. Sebab, judol juga urusan rakyat. Yakni, rakyat yang jadi korban kalah judi. (*)