Begitu juga beberapa merek motor produk lokal yang dibuat. Namun, setelah itu tak ada kelanjutannya.
Menurut catatan CNN di atas, jumlah mobil angkutan barang saat ini ada sekitar 6 juta unit dan bus sekitar 285 ribu unit. Bila saja 10 persennya dibuat dan diisi produksi merek dalam negeri, sudah 600 ribu unit yang bisa diisi.
Dengan melihat bagaimana maju dan canggihnya industri karoseri Indonesia (antara lain, Laksana, Adi Putro, New Armada, dan Tentrem), tentu bukan hal naif dan sulit untuk membangun industri otomotif dengan merek dan teknologi dalam negeri yang kuat.
Apalagi, dkitambah pengalaman-pengalaman SDM manusia yang telah bekerja di industri otomotif seperti Mercedes-Benz, Hino, Toyota, Nissan, Isuzu, dan Mitsubishi, termasuk Pindad dan lain-lain.
Sementara itu, ada kalangan yang berdalih bahwa banyak merek otomotif dunia yang sudah diproduksi di Indonesia dengan TKDN tinggi sehingga kita tidak perlu punya industri otomotif merek sendiri. Tetapi, yang penting industrinya di sini dan perputaran ekonominya di sini.
Saya tidak sependapat dengan itu.
Sebab, Jepang, Korea Selatan, dan sekarang Tiongkok yang menggunakan merek mobil nasional mereka sendiri sekarang sangat maju dan makin dikenal dunia.
Bandingkan dengan Brasil atau India yang dari dulu sudah memproduksi Mercedes-Benz atau VW, tapi dunia tetap mengenal merek-merek itu sebagai produk Jerman.
Bagaimana dengan Maung?
Berkolaborasilah dengan potensi-potensi industri otomotif dan industri kreatif anak bangsa di bengkel-bengkel modifikasi yang menjamur di tanah air.
Tidak hanya menggarap mobil pejabat, tetapi bikinlah bus, truk, dan kendaraan untuk kebutuhan rakyat.
Semoga Maung bisa jadi Maung Asia dan beranak pinak dengan Singa, Haur, Macan, dan sejenisnya sehingga menguasai otomotif dunia, apalagi di era mobil listrik ke depan. (*)
*) Didik Sasono Setyadi adalah penulis adalah pengajar UP 45 Yogyakarta serta pemerhati hukum dan kebijakan publik.