BACA JUGA:Wapres Gibran Usul Ada UU Perlindungan Guru: Jangan UU Perlindungan Anak Dipakai Untuk Melawan Guru
PPG harus dijalani calon guru selama setahun di perguruan tinggi yang ditunjuk pemerintah.
Hal itu berarti seseorang dapat dinyatakan sebagai guru profesional jika lulus PPG. Mereka yang lulus PPG memperoleh gelar guru (Pasal 14, Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013). Berbeda dengan buruh, guru bekerja di lembaga pendidikan yang bersifat nirlaba. Sementara itu, buruh bekerja di perusahaan yang berorientasi profit.
Karena itulah, napas perjuangan guru terasa lebih menonjol. Namun, sebagai orang yang bekerja dalam waktu tertentu, guru berhak untuk menerima gaji dan tunjangan yang layak.
MEMULIAKAN GURU
Berkaitan dengan kesejahteraan itulah, kehidupan guru harus terjamin. Guru-guru tidak boleh hidup menderita. Apalagi, mereka memiliki tugas mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Karena gaji guru belum memadai, stakeholder pendidikan harus berpikir keras agar kesejahteraan guru meningkat. Apalagi, realitas menunjukkan masih banyak guru yang menerima gaji jauh di bawah standar.
Jika dibandingkan dengan UMK atau UMP buruh yang ditetapkan pemerintah, terasa sekali gaji guru lebih kecil. Padahal, jika dibandingkan dengan buruh, profesi guru menuntut persyaratan pendidikan minimal sarjana (S-1 atau D-4).
Bahkan, banyak guru yang berijazah S-2 dan S-3. Selain persyaratan akademik, guru juga harus mengalami jalan berliku.
Misalnya, guru yang diterima di lembaga pendidikan swasta tidak otomatis berstatus guru tetap. Mereka harus melewati masa percobaan hingga bertahun-tahun. Pengelola pendidikan swasta biasanya sangat hati-hati mengangkat guru tetap. Sebab, ada konsekuensi membayar gaji pokok dan tunjangan.
Jika gaji guru masih di bawah standar, bagaimana mereka mampu menjalankan tugas dengan profesional dan penuh dedikasi. Profesionalitas guru, antara lain, dapat diamati dari performansi dan kompetensinya.
Sementara itu, dedikasi guru dapat dilihat dari kecintaannya terhadap profesi sehingga membuahkan semangat untuk bekerja dengan sepenuh hati. Hal itu penting karena mendidik layaknya memberikan hati kepada peserta didik.
Jika mengacu pada konstitusi, idealnya pemerintahlah yang harus menanggung gaji dan tunjangan semua guru, termasuk yang mengabdi di lembaga pendidikan swasta. Namun, pemerintah jelas memiliki keterbatasan anggaran. Karena itulah, sinergi pemerintah dan swasta untuk memperbaiki kesejahteraan guru sangat penting.
Jika kesejahteraannya belum ideal, setidaknya guru memperoleh layanan agar dapat hidup lebih layak. Layanan itu dapat berbentuk bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan anak, dan kesehatan. Berbagai terobosan kebijakan untuk memuliakan guru tersebut sangat penting.
Pada konteks itulah, pemerintah dan stakeholder pendidikan harus memastikan bahwa tidak ada guru yang menderita meski bergaji masih rendah. Seorang guru pasti menyadari bahwa pilihan menjadi pendidik merupakan panggilan hati.
Pasti tidak terbayang dalam pikiran guru bahwa ia akan hidup bergelimang harta. Yang ada dalam benak guru adalah mencetak generasi masa depan bangsa yang lebih baik.