Kotak Kosong Simbol Pelecehan Demokrasi, Ambang Batas Harus Dihapus

Senin 25-11-2024,17:38 WIB
Reporter : Ghinan Salman
Editor : Noor Arief Prasetyo

"Kotak kosong ini terjadi karena, satu, memang secara kelembagaan kita ada dorongan ke arah kotak kosong dengan adanya threshold itu," ujarnya. 

Saat ini, ambang batas sudah dikurangi menjadi antara 6,5 hingga 10 persen, namun perubahan ini masih menyisakan potensi kotak kosong di pilkada.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga ini pun menyoroti adanya kartelisasi dalam proses politik yang membuat kompetisi semakin berkurang. 

"Kartelisasi itu berarti, pengelompokan sebuah kekuatan menjadi kekuatan terpusat. Sehingga kompetisi itu menjadi berkurang," jelasnya. 

BACA JUGA:KPU Surabaya Pertimbangkan Adanya Kursi Kotak Kosong di Debat Pilkada 2024

BACA JUGA:Armuji: Kotak Kosong Tak Punya Program yang Jelas, Harus Dikosongkan!

Dalam konteks ini, calon tunggal, seperti Eri Cahyadi di Pilkada Surabaya, mengurangi dinamika kompetisi yang seharusnya ada.

Prof. Kacung juga menekankan bahwa personalisasi politik berperan penting dalam situasi ini. 

"Ada sosok yang kuat, sehingga orang itu berpandangan, siapapun yang akan melawan, tidak akan jadi," katanya. 

Hal ini menyebabkan partai-partai cenderung mengelompok pada sosok yang dianggap kuat dan mengakibatkan ketidakberanian untuk mencalonkan diri.

Meskipun gerakan kotak kosong di Surabaya ada, Prof. Kacung menilai kekuatannya tidak terlalu besar. 

BACA JUGA:Ajakan Pilih Kotak Kosong Terjadi di Surabaya, Kekecewaan Warga Pada Calon Tunggal

BACA JUGA:Masyarakat Surabaya Tolak Calon Tunggal: Gerakan Coblos Kotak Kosong Bergerak

"Gerakan kotak kosong di Surabaya akan kuat kalau yang anti Pak Eri Cahyadi kuat. Tetapi di sini ada gerakan kotak kosong, tapi tidak terlalu kuat," tutur Prof. Kacung. 

Sebuah survei menunjukkan hanya 17 persen responden yang mendukung kotak kosong.

Prof. Kacung juga memberikan saran agar ambang batas pencalonan dihapuskan. 

Kategori :