DARI hasil saya berdiskusi ringan dengan teman-teman di berbagai daerah, ada cerita dari desa-desa di Jawa. Yaitu, munculnya fenomena demokrasi ”nyangoni”.
Dewasa ini sebagian besar warga masyarakat enggan ikut memberikan suara dalam pemilu ataupun pilkada karena merasa tidak punya kepentingan langsung. Mereka juga kecewa terhadap keadaan yang buruk karena maraknya korupsi.
Mereka mau pergi memberikan suara jika ada pihak yang nyangoni, memberikan uang jalan, atau ada yang ninggali rejeki kepada mereka. Tanpa ada sangu (uang jalan), banyak warga yang memilih lebih baik tinggal di rumah atau pergi ke sawah daripada datang ke TPS untuk memberikan suara dalam pilkada.
BACA JUGA:Aktivisme Baru dan Demokrasi Kampus
BACA JUGA:Demokrasi Digital dan Partisipasi Pemilih
Ada kecenderungan mereka enggan terlibat partisipasi urusan politik. Dengan itu, terjadilah fenomena gerakan ”jor-joran nyangoni dan ninggali warga” yang dilakukan para relawan tim sukses masing-masing paslon di tingkat desa.
Dengan maraknya gejala seperti itu, amunisi dana yang dimiliki partai dan tim sukses paslon menjadi sangat penting sebagai energi untuk menggerakkan fenomena politik itu.
Jika calon memiliki kekuatan politik yang berlimpah dana, mereka memiliki kesempatan lebih besar dan lebih banyak dalam mendulang suara daripada yang tidak punya dana atau dananya terbatas.
BACA JUGA:Kotak Kosong dalam Demokrasi
BACA JUGA:Demokrasi Membutuhkan Etika
Aktivitas nyangoni tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan, bahkan tradisi sebagai ”kegotongroyongan” warga dalam praktik sosial politik di desa-desa.
Nyangoni menjadi tanda perhatian para elite di atas kepada rakyat kecil, yang penyaluran uang sangunya dilakukan aktivis-aktivis partai di akar rumput. Para aktivis politik di desa itulah yang jadi ujung tombak mencari suara dari masyarakat desa yang makin pragmatis.
Maka, sebenarnya siapa yang menang dalam pileg, pilpres, dan pilkada sering terjadi bukan semata-mata karena faktor personal kekuatan baik tidaknya figur calon yang berkontestasi.
BACA JUGA:Merawat Demokrasi, Menghidupkan Oposisi
BACA JUGA:Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia