Di kalangan anak muda di Tokyo, mereka kini cenderung makin menunda pernikahan. Tidak sedikit anak muda bahkan yang berencana tidak menikah atau kalaupun menikah, mereka memilih untuk tidak segera memiliki anak.
Di Tokyo, jumlah penduduk menurun karena tingkat kelahiran anak yang minim dan meningkatnya usia pernikahan di Jepang sehingga penurunan populasi terjadi. Di Jepang, fenomena menurunnya jumlah populasi yang disebabkan rendahnya tingkat angka kelahiran itu disebut dengan istilah shoushika mondai.
Biaya hidup di Jepang, terutama di Tokyo, yang makin tinggi adalah salah satu pertimbangan utama penduduk menunda pernikahan dan enggan segera memiliki anak. Survei yang dilakukan The Mainichi, misalnya, melaporkan bahwa dari 400 responden berusia 18 hingga 29 tahun, sebanyak 49,4 persen mengaku tidak menginginkan anak. Sikap responden itu bukannya berlebihan.
Dalam banyak kasus, pasangan yang menikah pada usia 25 atau 30 tahun, tetapi dari segi pekerjaan dan penghasilan belum mapan, mereka cenderung mengalami tekanan persoalan yang luar biasa. Ketika seorang ibu harus cuti melahirkan dan tidak bekerja karena harus mengasuh anak, beban keluarga itu niscaya menjadi sangat besar.
Di Tokyo menggantungkan hidup keluarga hanya dari penghasilan satu orang pasangan nyaris mustahil bisa dilakukan. Opsi yang realistis, akhirnya menunda memiliki anak. Itulah yang menyebabkan Jepang dan Tokyo pada khususnya mulai merasakan terjadinya ancaman kekurangan tenaga kerja.
Pemerintah Jepang sebenarnya sudah menjalankan beragam program untuk mengatasi permasalahan ”grey population” itu. Contohnya, program persalinan hingga sekolah gratis bagi pasangan yang ingin memiliki anak. Sayang, hal tersebut tidak mengubah perspektif pasangan muda Jepang untuk memiliki anak.
HAWA DINGIN
Jumlah orang Indonesia yang berada di Jepang, per Desember 2023, sebanyak 149.101 jiwa. Selain dari Indonesia, tidak sedikit pendatang lain dari berbagai negara yang tinggal dan mengadu nasib bekerja di Jepang –termasuk di Tokyo.
Pada Desember, suasana Tokyo cenderung sedikit lebih ramai daripada biasanya. Sebagian wisatawan mancanegara mulai berdatangan untuk mengisi libur Natal dan tahun baru.
Tokyo sendiri menjadi salah satu daerah tujuan kerja dan wisata yang populer di kalangan warga negara asing yang ingin mencari karier, melanjutkan pendidikan, atau sekadar menghabiskan waktu untuk berlibur. Di sekitar Tokyo, paling tidak ada tiga kawasan wisata utama.
Pertama, metropolitan Tokyo yang notabene merupakan pusat kota dengan segala gemerlap dan kesibukannya.
Kedua, Okutama yang merupakan area pegunungan dengan pemandangan yang indah.
Ketiga, Kepulauan Izu dan Ogasawara yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang menarik, baik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.
Kata orang, kalau berkunjung ke Jepang, kita harus siap dengan ancaman terjadinya gempa. Namun, kami sejak tiba di Tokyo hingga lawatan pada hari pertama sama sekali belum merasakan getaran gempa.
Saat ini ancaman yang kami rasakan bukan gempa, melainkan hawa dingin yang menusuk tulang. Di Tokyo kondisi cuaca mendung dan hawanya dingin. Suhu udara sekitar 11 hingga 17 derajat Celsius.
Bagi orang Surabaya yang setiap hari terbiasa panas, suhu belasan tersebut tentu menjadi gangguan sekaligus kegembiraan tersendiri. Merasakan hawa dingin di penghujung tahun membuat kami benar-benar sadar bahwa kami sedang berada di Tokyo, Jepang. (*)