Sebagai perempuan, sebagai masyarakat adat, dan sebagai korban konflik berkepanjangan. Esther Haluk memenuhi dua kriteria utama penerima Dermakata Award 2024 untuk kategori Fiksi: kualitas sastra dan dampak sosial.
Melalui "Nyanyian Sunyi" (2021), ia mengangkat isu-isu yang jarang tersentuh, seperti hak perempuan, kekerasan dalam konflik, dan perjuangan identitas budaya Papua.
Ia menjadikan sastra sebagai alat untuk membangun kesadaran kolektif, baik di tingkat nasional maupun global. Dedikasinya tidak berhenti pada karya, tetapi meluas ke berbagai forum advokasi, menunjukkan keberanian dan konsistensi yang luar biasa.
BACA JUGA: Survei Terbaru LSI Denny JA: Prabowo Masih Unggul Atas Ganjar dan Anies dalam Pilpres 2024
Sebagai penulis dari wilayah konflik, Esther menghadapi tantangan besar, dari stigma hingga hambatan struktural. Namun, keterbatasan itu justru menjadi bahan bakar bagi kreativitas dan keberaniannya.
Ia tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi untuk komunitas yang diwakilinya. Dermakata Award adalah bentuk pengakuan atas keteguhan hati dan integritasnya. Esther Haluk adalah bukti nyata.
Bahwa sastra mampu menjadi suara bagi yang tak bersuara. Ia menjadikan pena sebagai alat perjuangan, menyatukan estetika dan keberanian moral dalam setiap kata yang ia tulis. Dengan "Nyanyian Sunyi", ia tidak hanya menciptakan karya seni.
BACA JUGA: LSI Denny JA dan Kreativitas Mengolok Nalar
Tetapi juga membangun jembatan empati bagi mereka yang hidup di bawah bayang-bayang konflik. Dermakata Award 2024 bukan sekadar penghargaan, tetapi juga pengingat akan pentingnya suara dari pinggiran untuk terus menginspirasi sekeliling.
DERMAKATA AWARD 2024 Kategori Nonfiksi
Ia adalah seorang pencerita. Dengan semangat yang tak kenal lelah, ia menelusuri arsip-arsip kolonial Hindia Belanda untuk menghidupkan kembali kisah-kisah yang hampir terlupakan.
Dedikasinya menunjukkan bahwa sejarah tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang memahami akar yang membentuk masa kini dan merancang masa depan yang lebih berdaya.
BACA JUGA: Survei Terbaru LSI Denny JA: Prabowo Gibran Tembus 50,7 Persen, Pilpres Berpeluang Satu Putaran
Dengan karya mutakhirnya, "Abad Transisi: Bolaang Mongondow dalam Catatan Kolonial Abad XIX-XX" (2024), Murdiono Mokoginta (Dion) tidak hanya mencatat sejarah. Ia juga menghidupkannya dengan bahasa yang ringan, namun tetap berbobot.
Buku ini mengungkap dinamika sosial, budaya, religi, dan politik Bolaang Mongondow pada abad ke-19 dan 20. Ia menawarkan wawasan yang mendalam sekaligus relevan. Dion menjadikan buku ini dapat diakses oleh semua kalangan.
Dari akademisi hingga masyarakat umum, sebuah pencapaian yang jarang ditemui dalam literatur sejarah. Penghargaan ini juga mengakui keberanian dan komitmen Dion untuk mendokumentasikan sejarah lokal.