Pertama, ia adalah penjaga jiwa desa. Dalam setiap karya Tohari, desa bukan hanya latar, tetapi denyut nadi dari cerita itu sendiri. Dari trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" hingga "Di Kaki Bukit Cibalak", Tohari menempatkan desa sebagai ruang hidup yang penuh warna, tradisi, dan perjuangan.
Ia melukiskan harmoni antara manusia, alam, dan adat istiadat dengan kejujuran yang melampaui romantisme. Di saat modernisasi sering kali meminggirkan narasi masyarakat kecil, Tohari mengangkatnya ke panggung utama sastra.
BACA JUGA: Jelang Coblosan, Elektabilitas Khofifah-Emil Tembus 67 Persen di Survei LSI Denny JA
Suaranya adalah nyala lilin bagi identitas budaya yang terus terancam. Kedua, ia adalah saksi dan suara keadilan sosial. Karya-karyanya adalah perenungan mendalam atas ketimpangan, eksploitasi, dan pergolakan politik.
"Kubah" menggambarkan perjalanan seorang mantan komunis dalam mencari pengampunan, sementara "Orang-Orang Proyek" mengungkap praktik korupsi yang merugikan rakyat kecil.
Tohari tidak sekadar bercerita, ia merenungkan kompleksitas moral manusia dalam konteks sosial yang tak adil. Keberanian ini menjadikan Tohari lebih dari seorang sastrawan; ia adalah saksi zaman yang menolak berdiam diri.
Ketiga, ia adalah penghubung spiritualitas dan kemanusiaan. Dalam setiap paragrafnya, ada keseimbangan antara nilai-nilai spiritual dan realitas manusia. Tohari memadukan keduanya tanpa terjebak pada dogma.
Baginya, spiritualitas adalah tentang pengertian yang mendalam terhadap sesama dan alam semesta. Pesan-pesan universal ini menjadikan karyanya relevan di tengah dunia yang semakin terfragmentasi. Lebih dari itu, Tohari adalah pelita.
Yang tidak hanya menerangi jalannya sendiri, tetapi juga jalan bagi generasi penulis masa depan. Ia adalah bukti bahwa sastra dapat menjadi jembatan untuk merawat warisan budaya, menantang ketidakadilan, dan menyentuh inti kemanusiaan.
BACA JUGA: Dukung Doplang di Blora Jadi Desa Wisata, Denny JA Luncurkan Desa Kreator Cerdas AI
Penghargaan Lifetime Achievement Award bukan hanya sebuah pengakuan atas dedikasi panjang Tohari dalam sastra. Ini adalah penghormatan kepada suara yang telah menjadikan desa, keadilan, dan spiritualitas sebagai wajah sejati Indonesia.
DERMAKATA AWARD 2024 Kategori Fiksi
Salah satu karya Esther Haluk yang monumental adalah "Nyanyian Sunyi" (2021). Buku puisi ini bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata indah, tetapi juga refleksi mendalam tentang kehidupan di Papua.
Esther menggambarkan ketidakadilan sosial, kekerasan, dan perjuangan sehari-hari dengan bahasa yang lugas dan menggugah. Karya ini menjadi medium advokasi yang kuat, menyoroti diskriminasi berlapis yang dialami perempuan Papua.
BACA JUGA: Inilah Rapor Jokowi! LSI Denny JA Catat 3 Rapor Biru, 1 Rapor Merah, dan 3 Rapor Netral