Akibatnya, filantropi lebih sering dibahas dalam konteks sosiologi, teologi, atau kajian sosial lainnya tanpa pengakuan serius terhadap perannya dalam ekonomi makro.
Hal itu memperlihatkan bias epistemologis yang mengabaikan bahwa redistribusi berbasis solidaritas sosial, seperti zakat atau donasi, dapat memiliki efek ganda dalam pengurangan ketimpangan dan peningkatan produktivitas masyarakat.
Ketika filantropi diakui, fokusnya sering terbatas pada dampak mikro –seperti bantuan kepada individu atau keluarga miskin– tanpa eksplorasi potensi dampaknya pada level makro.
Itu mengabaikan bagaimana filantropi dapat menjadi katalisator perubahan struktural dalam perekonomian, mulai pembiayaan proyek infrastruktur sosial hingga menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
MEMULIHKAN ESENSI FILANTROPI
Kita memerlukan epistemologi ekonomi pembangunan yang lebih inklusif, yang mampu memasukkan filantropi sebagai elemen integral dalam upaya menciptakan kesejahteraan kolektif.
Paradigma baru itu harus didasarkan pada pengakuan bahwa filantropi bukan hanya tentang ”memberi”, melainkan juga tentang ”memberdayakan”.
Dengan demikian, ia dapat diposisikan sebagai instrumen yang melengkapi model redistribusi melalui pajak, sekaligus menjawab tantangan keadilan sosial yang tidak sepenuhnya dapat diatasi mekanisme pasar bebas.
Di sana, integrasi teknologi modern, transparansi pengelolaan, dan sinergi antara sektor pemerintah, swasta, serta lembaga filantropi menjadi sangat penting.
Dengan landasan epistemologi yang lebih luas, filantropi dapat menjadi jembatan antara ekonomi pembangunan berbasis pasar dengan nilai-nilai moral dan solidaritas sosial yang dituntut masyarakat.
Kita tak bisa hanya mengandalkan pajak sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara. Terlebih, dengan rencana pemerintah menaikkan pajak barang mewah sebesar 12 persen, kita harus sadar bahwa itu tidak cukup kreatif.
Filantropi bisa menjadi jembatan yang menghubungkan nilai-nilai moral dengan kebutuhan ekonomi, yang menawarkan keadilan, tidak hanya sebagai idealisme, tetapi juga sebagai tujuan yang bisa dicapai.
Sudah waktunya filantropi tidak diperlakukan sebagai ”tambahan”, tetapi sebagai ”pilar”. Sebab, sejarah mencatat bagaimana filantropi mampu menyatukan dimensi spiritual, sosial, dan ekonomi dalam satu tarikan napas.
Pada akhirnya, mengangkat filantropi dari pinggiran epistemologi ekonomi pembangunan menjadi narasi utama tidak hanya soal memperluas basis konsep, tetapi juga tentang menciptakan ekonomi yang lebih manusiawi.
Ekonomi yang tidak sekadar mengejar angka pertumbuhan, tetapi menempatkan manusia sebagai pusat dari semua kebijakan dan strategi pembangunan.
Jika kita mampu memandangnya sebagai bagian integral dari solusi ekonomi nasional, bukan hanya pandangan tentang zakat, wakaf, atau filantropi lainnya yang akan berubah. Tetapi, juga narasi besar bangsa ini.