Pada bank syariah, EWS tidak bisa mengesampingkan perolehan laba dari pembiayaan dengan karakteristik tertentu, misalnya, pendapatan yang bersifat certainty, yaitu melalui akad berbasis jual-beli (murabahah, istishna’) dan ijarah (ijarah dan IMBT), dan bersifat uncertainty, yaitu pembiayaan berbasis bagi hasil, mudharabah, dan musyarakah.
Model pembiayaan ternyata sangat memengaruhi risiko kebangkrutan pada bank syariah. Pembiayaan berbasis uncertainty contracts lebih tahan terhadap ancaman kebangkrutan bank syariah sehingga bank syariah harus menyusun portofolio pembiayaan yang menggunakan akad mudharabah dan musyarakah itu lebih tinggi.
Idealnya, berdasar pada berbagai pendekatan portofolio optimal seperti Fuzzy portfolio selection, Markowitz, dan bootstrap block method, berkisar 55–67 persen.
EWS juga sangat penting pada perusahaan asuransi syariah (takaful) yang tidak menggunakan risk transfer, tapi risk sharing antar-peserta dengan prinsip takaful ta’awuni. Saling menjamin dan saling menolong.
Perusahaan asuransi hanya sebagai pengelola yang memperoleh fee, bukan pemilik dana yang disebut dana tabarru’.
Karena itu, pada asuransi syariah (takaful), dana tabarru’ yang terpisah dari dana perusahaan harus diukur sensitivitasnya terhadap risiko deficit underwriting.
Sementara perusahaan asuransi syariah bisa mendeteksi potensi bangkrutnya melalui pengukuran skor standar (Z-Score) dari kinerja keuangannya. Bukan hanya didasarkan pada risk base capital (RBC)-nya.
EWS pada lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) mirip bank yang memiliki mismatch dengan kekhasan tertentu. EWS sangat penting pada LKMS –baik yang berada dalam pengawasan OJK dengan konsep open loop maupun di bawah Kementerian Koperasi dengan konsep closed loop. Sebab, meski mirip bank, LKMS tidak memiliki lender of the last resort.
Dengan begitu, LKMS juga tidak memiliki kewajiban cadangan seperti konsep GWM di perbankan. Simpanan di LKMS juga tidak dijamin karena tidak ada lembaga penjamin simpanan (LPS).
Dengan kondisi seperti itu, EWS menjadi begitu penting untuk mendeteksi secara dini potensi kebangkrutannya.
EWS bisa dibangun layaknya pada bank syariah dengan menggunakan nilai standar dan threshold sehingga diketahui lebih awal jika LKMS akan mengalami kebangkrutan.
Salah satu langkah penting yang bisa dilakukan pemerintah adalah segera mendirikan lembaga penjamin simpanan (LPS) untuk LKMS. Juga, mewajibkan pencadangan layaknya giro wajib minimum (GWM) pada bank syariah. Sekaligus menyiapkan lender of the last resort bagi LKM yang mengalami kesulitan likuiditas. (*)
CATATAN: Artikel ini adalah ringkasan pidato pengukuhan guru besar pada 19 Desember 2024.
*Imron Mawardi adalah guru besar investasi dan keuangan Islam Universitas Airlangga, Surabaya.