Bank Sentral, Smart Citizen, dan Ancaman Brain Rot; Saatnya Media Sosial Jadi Sekolah Ekonomi

Bank Sentral, Smart Citizen, dan Ancaman Brain Rot; Saatnya Media Sosial Jadi Sekolah Ekonomi

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jatim menggelar Media Briefing mengulas Kondisi Perekonomian Global, Nasional dan Jawa.-Boy Slamet-

KALAU netizen Indonesia bisa berdebat panas soal drakor (drama Korea), tahu siapa pacar penyanyi Korea terbaru, atau hafal skandal influencer dari A sampai Z, kenapa tak bisa hafal peran Bank Indonesia dan bedanya dengan OJK?

Ya, itulah pertanyaan retoris yang semakin relevan di era digital ini. Kita hidup di negeri dengan lebih dari 221 juta pengguna internet (We Are Social, 2024). Dan dari angka itu, sekitar 167 juta orang aktif di media sosial. Artinya, dari total penduduk, lebih dari separo punya potensi menerima informasi setiap menit, bahkan setiap detik. Semuanya hanya lewat gawai di genggaman tangan.

Sayangnya, potensi luar biasa itu belum sepenuhnya digunakan untuk membangun kecerdasan ekonomi masyarakat. Alih-alih memahami apa itu inflasi, suku bunga acuan, atau peran penting bank sentral dalam menjaga stabilitas keuangan, sebagian besar masyarakat justru lebih akrab dengan tren “thrift haul”, drama TikTok, atau konten “healing-healing” yang tak jelas tujuannya.

BACA JUGA:Italian Brainrot dan Edukasi Digital untuk Anak

Lebih parah lagi, saat ini muncul fenomena brain rot. Itulah kondisi ketika otak menjadi pasif, kebal terhadap stimulasi intelektual karena terlalu sering terpapar konten receh, hiper-stimulatif, tapi miskin makna.

Istilah itu makin populer di kalangan digital native sebagai semacam guyonan sarkastik, tapi ancamannya nyata. Bahkan, kata tersebut dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year 2024.

Harus diakui, kita sedang berhadapan dengan generasi yang cakap scroll, tapi gagap analisis. Melek layar, tapi rabun ekonomi.

Padahal, pemahaman ekonomi bukan hanya milik ekonom atau pejabat moneter. Ia adalah bekal hidup yang tak kalah penting dari tahu cara order makanan online.


Gedung Bank Indonesia di Jakarta.-Dok. Harian Disway-

Bank Sentral: Polisi Lalu Lintas Ekonomi yang Sering Disalahpahami

Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral Republik ini, punya tugas yang strategis tapi tak banyak dipahami. Yakni, menjaga stabilitas nilai rupiah, mengendalikan inflasi, menetapkan suku bunga acuan, serta menjaga kelancaran sistem pembayaran nasional.

Kedengarannya teknokratis dan membosankan, bukan?

Tapi, tunggu dulu… Apa yang dilakukan BI sangat berpengaruh pada isi dompet kita semua.

Contoh sederhana: ketika BI menaikkan suku bunga acuan, bunga kredit KPR bisa ikut naik, cicilan bertambah, dan daya beli bisa menurun. Di sisi lain, BI juga bisa menahan laju inflasi agar harga cabai tidak naik seenaknya. Jadi, keputusan BI bukan cuma untuk kantor-kantor megah di Sudirman, Jakarta, tapi sangat terasa sampai ke dapur ibu-ibu rumah tangga di pelosok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: