Italian Brainrot dan Edukasi Digital untuk Anak

Ilustrasi seorang anak yang fokus pada gawainya, dengan minimnya pengawasan orang tua yang juga sibuk dengan gawainya masing-masing. --Humas PCU
HARIAN DISWAY – Boneka yang berdansa di tengah cangkir kopi. Sosis yang berbicara sambil berdendang. Kucing dengan mata sebesar donat yang melayang di udara sambil mengucap Tripitropi Tropatripa.
Semua itu bukan bagian dari mimpi ketika demam, melainkan menu harian tontonan anak-anak zaman sekarang.
Fenomena itu dikenal sebagai anomali content, konten absurd yang ramai di platform digital. Seperti YouTube Kids, TikTok, dan algoritma tak kenal henti lainnya.
BACA JUGA:PCU Luncurkan Magister Desain untuk Cetak Inovator Phygital Masa Depan
Konten itu sering menampilkan benda mati, hewan, atau karakter fiksi yang bertingkah laku di luar logika. Aneh? Memang. Tapi justru di situlah letak pesonanya bagi anak-anak usia dini.
“Mereka sedang dalam masa imajinatif. Jadi, apa pun yang ganjil justru dianggap menarik,” ujar Lisa Narwastu Kristsuana, dosen PG-PAUD dari Petra Christian University (PCU).
Lisa Narwastu Kristsuana dosen PG-PAUD PCU memberikan tanggapannya mengenai fenomena Brainrot pada anak-anak. --Humas PCU
Namun, Lisa mengingatkan: imajinasi, jika tidak dibingkai dengan baik, bisa menjadi pedang bermata dua. Anak-anak usia dua hingga enam tahun memang butuh ruang berimajinasi.
BACA JUGA:Siap Cetak Dokter Gigi Masa Depa, FKG PCU Dilengkapi Fasilitas Canggih dan Kurikulum Inovatif
Tapi ketika kontennya makin liar, makin absurd, dan dikonsumsi terus-menerus, otak kecil mereka bisa rusak.
“Dulu, kita punya Barbie. Ada Harry Potter. Itu masih bisa kita arahkan untuk anak-anak. Sekarang? Imajinasi tanpa pagar. Tidak ada batas antara realitas dan khayal,” tutur Lisa.
Dia menyebut bahwa konten-konten absurd itu bisa memicu brainrot, istilah populer untuk menggambarkan kondisi otak yang mengalami kebingungan, kehilangan struktur, dan tak mampu menyerap informasi secara wajar.
BACA JUGA:Dosen PCU Komentari #KaburAjaDulu, Wujud Keresahan Anak Muda, Antara Realita dan Harapan
Kata Lisa, itu semua akibat efek dopamin yang berlebihan. Konten-konten acak yang tampil cepat dan tidak berurutan mengacaukan mekanisme otak dalam mengolah stimulus. Anak-anak jadi sulit fokus, emosinya labil, dan cara berpikirnya tak terstruktur.
“Ibarat tanaman yang disiram sembarangan. Niatnya tumbuh, tapi malah busuk dari akar,” katanya. Efek jangka panjangnya lebih mencemaskan. Anak-anak menjadi lebih kasar dalam berbicara, lebih mudah marah, bahkan mengalami kecemasan sosial.
“Banyak orang tua yang datang ke saya sambil bilang, ‘Anak saya sekarang galak. Bicaranya ketus. Sukanya menyendiri dengan HP’,” ujar Lisa, prihatin.
BACA JUGA:Screening Dokumenter Mahasiswa PCU di CGV Surabaya, Usung Tema Yang Terpinggirkan
Anak-anak yang terus-menerus menonton konten tak berjiwa juga bisa kehilangan empati. Mereka terbiasa melihat aksi berlebihan, suara nyaring, dan respons yang tidak manusiawi.
Dunia digital telah membiasakan mereka pada ketidaknyataan yang glamor namun kosong. Sayangnya, bukan hal mudah memutus rantai itu. “Makin dilarang, makin mereka penasaran. Makin dikekang, makin ingin kabur,” ujarnya.
Solusinya, menurut Lisa, bukan larangan. Bukan juga menyita gadget lalu mengurung anak di kamar. Justru kuncinya adalah relasi. Komunikasi yang hangat. Orang tua dan guru perlu jadi teman bicara, bukan hakim.
BACA JUGA:Rayakan Valentine dengan Kreativitas, PCU Gelar Workshop Flower Cookies Decoration
“Kalau kita hanya melarang tanpa menjelaskan, anak-anak akan mencari sendiri jawabannya. Dunia digital punya seribu satu cara untuk memikat mereka,” jelas Lisa.
Ia menekankan bahwa perlindungan terbaik untuk anak bukanlah dari aplikasi pemantau atau filter konten. Tapi dari kehadiran orang dewasa yang penuh kasih. Juga konsisten dalam membangun komunikasi.
“Anak harus merasa dirinya berharga. Bukan karena diterima oleh teman, tapi karena tahu dia dikasihi. Kalau rumah sudah memberi rasa aman, anak tak akan mudah goyah di luar,” ujarnya.
BACA JUGA:Rayakan Valentine dengan Kreativitas, PCU Gelar Workshop Flower Cookies Decoration
Lisa juga menekankan pentingnya edukasi bagi orang tua dan guru. Bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal nilai.
Dunia maya boleh liar. Tapi anak-anak perlu diberi fondasi yang kokoh. Bukan dengan bentakan. Bukan pula dengan kepanikan. Tapi dengan cinta yang cerdas dan kesabaran yang konsisten.
Di tengah derasnya tralalero tralala dan Ballerina Cappucina, mungkin memang sulit bagi anak untuk membedakan yang nyata dan yang khayal.
BACA JUGA:Berbagai Cara PCU Transformasi Gang Dolly, Dari Eks Lokalisasi jadi Sentra Kreatif
Tapi dengan pendampingan yang bijak, mereka tetap bisa tumbuh utuh. Bukan sekadar penikmat layar, tapi sebagai manusia yang punya logika, hati, dan empati. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: