Deteksi Dini Kebangkrutan Lembaga Keuangan Syariah

Jumat 20-12-2024,11:20 WIB
Oleh: Imron Mawardi*

ESKALASI konflik di Timur Tengah yang kian tinggi serta tak kunjung usainya perang Rusia-Ukraina makin meningkatkan kekhawatiran terhadap ekonomi global. Itu terlihat dari banyaknya bank sentral yang membeli safe haven emas. Dampaknya, komoditas itu mencapai harga tertingginya, 2.780 dolar per troy ounce (31,11 gram). 

Jika kekhawatiran itu terus berlanjut, bukan tak mungkin bakal memicu krisis. Sebab, kekhawatiran terhadap ekonomi sering kali mengakibatkan kepanikan yang lalu menjadi krisis keuangan dan ekonomi. The great depression 1930-an, misalnya, dipicu  kepanikan investor terhadap masa depan ekonomi AS yang tiba-tiba melambat.  

Investor ramai-ramai menjual saham mereka di bursa Wall Street sehingga harga saham-saham hancur. Bursa runtuh. Banyak bank, fund manager, dan investor di Amerika Serikat (AS) bangkrut yang lalu menyeret ke krisis AS. 

BACA JUGA:Fokus Literasi Ekonomi dan Keuangan Syariah

Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, jatuhnya Wall Street merembet ke berbagai belahan dunia. Depresi itu pun menjadi krisis dunia terparah karena melumpuhkan sendi-sendiri ekonomi di hampir semua negara di dunia. 

Setelah the great depression, krisis keuangan terus berulang. Terjadi krisis utang di Amerika Latin tahun 1990, krisis moneter Asia tahun 1998, krisis subprime mortgage di AS 2008, taper tantrum 2013, dan krisis Covid-19 tahun 2020–2022 yang menyebabkan hampir semua negara di dunia mengalami pertumbuhan negatif. 

Sebagai bagian dari dunia, Indonesia tak bisa menghindar dari dampak krisis global dan regional. Krisis 1998, misalnya, yang diawali dari jatuhnya mata uang baht Thailand. Dalam waktu singkat, krisis merembet ke negara-negara Asia, tak terkecuali Indonesia. 

BACA JUGA:Swing Customer Keuangan Syariah

Mengapa krisis terjadi? Secara filosofis, krisis didorong oleh perilaku dasar manusia yang berlebihan dan tidak rasional (irrational exuberate). Perilaku manusia yang memiliki watak kebinatangan (animal spirit) yang serakah dan berkelakuan brutal. Termasuk perilaku mereka dalam melakukan investasi di pasar finansial. 

Krisis menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem yang bercorak neoliberal. Pada dasarnya, krisis adalah buah dari tiga gelombang besar bernama globalisasi-liberalisasi-finansialisasi. 

Gejala finansialisasi itulah yang dalam dua dekade terakhir mengalami peningkatan luar biasa. Salah satunya,  diciptakannya pasar derivatif dengan sistem leverage dan margin trading agar investor bisa memperoleh keuntungan berlipat-lipat dalam waktu singkat. 

BACA JUGA:Dalam Tabligh Akbar, BI Tegaskan Komitmennya dalam Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia

Dari kejadian-kejadian yang terus berulang, bisa kita simpulkan bahwa krisis masih akan terus terjadi. Bahkan,  jaraknya makin pendek. Itu karena spekulasi di pasar finansial kian besar. 

Perdagangan derivatif berlipat-lipat lebih besar daripada transaksi barang. Bisa dibayangkan, Bitcoin yang tahun 2011 berharga USD 1 atau Rp 15 ribu, sekarang sudah menembus USD 107 ribu atau Rp 1,7 miliar.

Seperti penyebabnya, dampak krisis juga tidak mudah diperkirakan. Pada  krisis 1998, Indonesia yang hanya terkena imbas gejolak nilai tukar baht Thailand justru terdampak parah. Sebanyak 57 bank ditutup, sebagian selamat setelah memperoleh bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 

Kategori :