Untuk mencapai hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), harus disetujui paling kurang 2/3 jumlah kehadiran sidang paripurna saat itu dari 2/3 jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Proses di DPR ini melakukan pengkajian, penyelidikan dengan mengumpulkan bukti-bukti hingga saksi-saksi yang diyakini mengetahui tentang dugaan pelanggaran tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan Presiden dan/atau Wakil Presiden diundang ke DPR untuk dimintakan keterangan lebih lanjut.
BACA JUGA:Presiden Korsel Berikan Pidato Pembelaan Diri, Sebut Darurat Militer Untuk Pertahankan Demokrasi
BACA JUGA:Imbas Darurat Militer, Presiden Korsel Jadi Tersangka Penghianatan Negara
Selanjutnya jika dalam proses tersebut didapati suatu hasil yang sesuai dengan dugaan DPR, maka kemudian langkah selanjutnya adalah meminta MK untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR tersebut secara hukum.
Proses yang terjadi di MK ini merupakan forum privilegiatum. Suatu forum khusus yang dilaksanakan dalam rangka mengadili seorang pejabat negara. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat (2) menjelaskan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. MK mempunyai waktu 90 hari untuk memutuskan hasil menyatakan pendapat DPR tersebut.
Apabila putusan MK membenarkan pendapat dari DPR, maka DPR akan mengajukan usulan pemakzulan Presiden/atau Wakil Presiden atas dasar putusan hukum MK tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Amanat UUD NRI 1945 Pasal 7B ayat (7) menyatakan bahwa keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
KEGEMBIRAAN RAKYAT Korea Selatan setelah Presiden Yoon Suk-yeol dilengserkan oleh parlemen, Sabtu, 14 Desember 2024.-ANTHONY WALLACE / AFP-
Mekanisme di MPR ini bersifat politis. Jika dalam paripurna tersebut, ternyata tidak mencapai kuorum karena anggota yang hadir tidak mencapai 3/4 jumlah anggota MPR keseluruhan, keputusan yang diambil dalam rapat paripurna tersebut adalah tidak dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal sebelum proses di MPR, MK telah memberikan putusan.
Berdasarkan hal di atas, proses impeachment hingga pemakzulan yang diatur dalam sistem hukum Indonesia lebih cenderung kepada aspek politik dari lembaga DPR dan MPR. Sedangkan aspek hukum yang dilaksanakan oleh MK terkesan hanya sekedar pemanis belaka.
Perbedaan Proses Impeachment Hingga Pemakzulan Presiden Korea Selatan dan Indonesia.
Mosi impeachment di Korea Selatan ditujukan tidak hanya kepada Presiden, namun juga kepada Perdana Menteri, anggota Dewan Negara, pimpinan Kementerian Eksekutif, Hakim Mahkamah Konstitusi, Hakim, anggota Komisi Pemilihan Umum, Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan pejabat publik lainnya yang ditunjuk oleh Undang-Undang. Tidak ada unsur Wakil Presiden karena sejak tahun 1960, Korea Selatan telah menghapus jabatan tersebut.
Sedangkan di Indonesia, mosi impeachment tersebut hanya berlaku kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jika melakukan perbandingan, mulai proses impeachment hingga pemakzulan Presiden di Korea Selatan dan Indonesia, negara Korea Selatan lebih menjunjung tinggi aspek hukum dibandingkan negara Indonesia.
Proses awal impeachment di Korea Selatan dan Indonesia memiliki persamaan, yaitu dilakukan oleh anggota parlemen atau wakil rakyatnya, dan hasil kuorum tersebut kemudian diajukan kepada MK untuk dilakukan pemeriksaan dan menghasilkan putusan secara hukum apakah Presiden terbukti atau tidak melakukan pelanggaran hukum.
Di Korea Selatan, apabila terbukti bersalah oleh MK, putusan tersebut otomatis akan memberhentikan Presiden dalam jabatannya. Namun hal berbeda jika terjadi di Indonesia, putusan MK akan dibawa DPR kepada MPR untuk melaksanakan rapat paripurna.
Perihal ini sudah jelas menggambarkan bahwa proses akhir pemakzulan Presiden di Korea Selatan menggunakan putusan hukum MK, sedangkan Indonesia lebih memilih putusan yang bersifat politis melalui rapat paripurna MPR, walaupun hal tersebut memang diatur dalam UUD NRI 1945.